Tokichi selama ini berusaha mencari tahu kriteria cowok yang gue suka, juga berusaha memperbaiki diri serta merawat tubuhnya. Dia pun harus tetap adil—tidak memihak gue atau Naira, karena jujur saja waktu itu dia masih butuh Naira untuk dijadikan alat saat gue mulai jauh darinya.
Apalagi saat gue bilang akan berbicara pada ayahnya tentang aturan ketetapan sekolah buatan beliau. Dia merasakan kegelisahan saat itu juga karena takut gue akan jauh lagi darinya, dan dia akan semakin sulit membangun kepercayaan gue. Sampai Tokichi tahu kalau gue sudah berhasil membuat peraturan itu hilang, jadi dia berbuat lagi memainkan perasaan gue dengan memakai jasa Naira.
"Wah, lu redflag baget. Fix!" protes gue memotong ceritanya yang panjang kali lebar itu.
"Agar kamu sadar kesalahanmu!" perintahnya.
"Apa!"
"Bodoh. Gue, kan, eh salah maksudnya, aku dari awal sudah bilang ke kamu, belajar lagi kalau mau menang dari ku." Tekan dia mengingatkan kembali ke gue dengan pertemuan pertama kita di malam perjodohan itu.
"Tapi gue nggak merasa sedang melakukan ajang atau kompetisi," gue coba membela diri karena memang tak tahu apa-apa dari awal.
"Lu butuh tantangan mental untuk bisa bertahan dari badai. Ternyata gue sadar bahwa Ari waktu itu crunchy di luar tapi dalamnya mudah melting." sindirnya ke gue yang buat gue semakin kesal ke dia.
"Gue sakit tau!" seru gue yang ingat kebodohan gue.
"Mau lanjut nggak, nih, jujur itu pahit tapi juga baik."
"Sama saja gak enak."
"Kemarin habis dari rumah sakit obatnya memang manis?"
"Pahit."
"Tapi sembuh, 'kan?" tanya dia, gue pun mengangguk. "Setelah itu, nggak taunya ada cowok mukul aku tanpa alasan sampai muka ku memar semua waktu aku otw ke rumahmu mau ambil buku. Aku pikir, laki-laki itu suka sama kamu karena sempat singgung namamu ke aku, sampai tanpa alasan memukul ku. Aku bisa tahu dia siapa dari Dita di grup. Kelanjutannya, ternyata Dita suka padanya.Aku cemburu, ternyata Kak Sandi selain mahir beladiri juga seorang gitaris di band sekolah kita. Dan makin terkejutnya lagi aku— saat kamu mengacak acak bangku Naira serta menjelaskan semuanya dengan gamblang. Hal itu kemudian dibicarakan dalam grup perdamaian kami yang mana grup itu dibuat untuk pengganti grup sebelumnya yang sudah di sadap oleh Ayah ku." Cerita tambahnya ke gue setelah kita selesai mendengarkan rekaman itu. Meskipun tadi kamu sempat cekcok sedikit, tapi dia tetap menepati ucapanya. Kak Sandi begitu sayang ke gue tapi kita terpisah dan tak bisa satu karena kepercayaan masing-masing. Gue sudah ada Tokichi dan dia ada Kak Fina. Hal itu buat gue bahagia, gue harap Naira juga bisa memaafkan masa lalu itu dan hidup bahagia dengan pasangan yang tulus. Siapa tahu setelah SMA ini kita bisa hidup dengan penuh motivasi karena adanya pasangan yang setia.
"Aku singkat, ya, ceritanya sudah semakin larut soalnya." Pinta Tokichi setelah terjeda sejenak.
"Iya..."
"Aku ambil poin pentingnya soal Dita. Dita bercerita kalo kamu selain kasar, tidak tahu terima kasih, ugal-ugalan, norak, juga angkuh. Dia bilang nggak cuma merebut aku saja sebagai teman pertamanya, tapi kamu juga ambil crush-nya dia, Kak Sandi. Itulah mengapa dia sampai tega membuka aib keluarga mu. Danyang buatku heran, kenapa begitu percayanya kamu sama wanita yang akan menusukmu dari belakang dari pada sama aku. Dulu saat aku berkata bahwa aku nggak ada hubungan apa-apa dengan Naira kenapa kamu nggak percaya, dan tetap mengira aku pacaran dengannya. Apalagi sampai kamu corat-coret, tuh, bangku mereka. Sulit sekali, ya, bagimu buat percaya sama aku, karena sudah sebegitunya kamu denganku, sekalian aja aku tampil seperti yang kamu sangkakan. Sebenarnya grup perdamaian itu grup lama tapi baru kami masukin kamu agar seolah-olah itu baru—"
"Kalian benci gue, ya," potong gue sambil berdengus.
"Iya, Semua berawal dari Dita."
"Sudahlah."
"Selanjutnya, setelah kamu kehilangan teman otomatis semua akan melihatmu yang kesepian, dan kami ingin melihat kamu akan berlari ke arah siapa. Aku pikir kamu akan berlari ke arah ku, tapi aku malah melihat kamu di perpus bermesraan sama Kak Sandi." Dakwaan-nya ke gue tanpa tahu kebenarannya, dan tanpa bertanya apakah ucapan dia tidak menyakiti gue.
"Eh, bermesraan mamak lu. Gue itu sedang diberikan wejangan sama Kak Sandi terkait ada anak yang mengerti tentang kejiwaan gue saat itu akibat kehilangan." Tekan gue. Gue pun melihat dia dengan tajam, dan mengeluarkan suara geraman. Gue pun menambahkan lagi, "lagian Kak Sandi sudah ada pacar. Makanya tanya dulu dong! Jangan asal tuduh, bicara baik-baik. Gak ada rasa bersalah dan minta maaf ke gue pula. Asal jeplak salah pula, malu-maluin!" sergah gue mengolok-olok dia tepat di depannya.
Dia pun meminta maaf ke gue atas kesalahpahamannya ke gue. Dan dia yang dengan sadar sakiti gue hanya karena cemburu buta juga iri dengan Kak Sandi.
"Dan saat lu panggil gue isotop, rasanya sakit bukan main!" pekik gue yang tak terima di hari itu. Rasanya ada yang telah gue lepasin dari hati terdalam gue selama ini.
"Gue, maafin gue. Itu saran dari teman sekelas lu."
"Lol! Lanjutin, jangan berhenti.'" Perintah gue meskipun dengan keadaan naik pitam dan jantung yang semakin berdetak kencang, napas semakin tak beraturan dengan wajah yang makin memerah padam.
"I-iya. A–aku..." ucapnya terbata karena takut
"Gue aja, kelamaan lu."
"Gue... gue melepas cincin tunangan saat tau lu memilih Kak Sandi. Gue seperti terbakar sesuatu di dada gue waktu ingat kedekatan lu sama dia.
"Lu egois, ya! Lu mikir nggak gue sudah sering ngalah saat lu bersama dengan Naira. Sedangkan lu waktu di hotel saat punya waktu tenang dan berdua yang panjang sama gue, kenapa nggak lu manfaatkan buat cerita ke gue soal hubungan lu sama dia. Agar gue nggak sendirian merasakan sakit dan tidak semakin jauh untuk salah paham." Tegas gue menekankan ke dia.
"Gue memang buruk, juga sengaja."
"Ya, sengaja untuk tujuan lu semata, kan!?" Sentak gue, dia mengangguk nurut.
"Memang redflag bukan deep talk lo, gue pikir lo itu orangnya deep talk, ternyata hanya kamuflase agar tampak bijak dan biar dianggap sebagai lelaki sejati. Gadungan!"
"Maafin gue."
"Hm! Toh, sudah berlalu. Lanjut, boy." Kata gue dengan gaya kelaki-lakian gue yang bangkit sedari tadi. Gue kini duduk menghadap dia, kaki membentuk huruf L terbalik.
"Jangan marah tapi."
"Hm."
"Itu, saat di pesta. Saat pesta gue sengaja merayakan-nya lebih cepat, dan setelahnya kejadian rusuh itu, Ayah gue selanjutnya jelasin semuanya setelah acara selesai. Beliau cerita saat beliau tahu atas kebohongan gue soal Naira dan grup itu karena sudah diberi tahu waktu sepulang sekolah siang itu sama lu, beliau segera membuat rencana di pesta itu dengan meminta bantuan dari anak kepala sekolah Kak Galih. Ini salah gue yang memakai nama lu demi kepentingan gue dan Naira. Niat gue agar lu cemburu dan merasakan sakit yang gue rasakan saat melihat lu di perpus dengan Kak Sandi. Ayah bilang ingin membuat gue semakin cemburu dengan adanya lelaki yang lebih sempurna dari gue seperti Kak Sandi. Ayah gue tahu, gue anak yang ingin selalu tampil sempurna karena serangan metal waktu SD dan SMP yang gue alami. Awalnya beliau memaklumi tapi setelah beliau tahu bahwa gue menyakiti lu, dan berani berbohong padanya serta menghianati ucapan gue pada Momi lu, beliau marah besar setelah malam pesta itu ke gue. Gue di berikan kesempatan lagi untuk memperbaiki diri."
Cerita dia selesai dari awal sampai akhir. Gue tidak mau membalas mereka yang zalim. Percuma, hal itu tidak dapat merubah masa lalu, bahkan tidak bisa membuat luka gue sembuh hanya dengan permintaan maaf mereka. Jadi gue memutuskan untuk memaafkan mereka, maaf itu bukan buat mereka tapi demi kesehatan batin dan mental gue kini dan nanti—masa depan. Urusan gue tinggal bersama Naira untuk tahu alasan dia yang sebenarnya. Gue harap dia bisa lepas dari segala luka yang mana gue juga bisa lepas dari tarikan luka-luka dari teman masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
END|| Tori Romance || •Djaduk✔️
RomanceEvent Novel Kala Cinta Bersemi Oleh : Penerbitan Dicetakin Tema : Pernikahan Dini Nama Pena : Djaduk Penghargaan: Finalis/juara 5 •••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• ☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️ ••••••••••••••••••••...