21. Di Balik Grup Perdamaian

36 22 2
                                    

Gue balik ke kelas, gue melihat arah pandangan teman-teman gue enggak sama seperti sebelumnya. Gue menoleh ke belakang gue sejenak—mungkin ada orang lain di belakang gue, dan ternyata tak ada siapapun. Apakah mereka seperti itu gara-gara melihat gue, pikir gue.

"Teman-teman, ada yang mau isi bangkunya Dita nggak?" tanya gue melirihkan suara gue. Gue kini sendiri dan harus tahu diri untuk bersikap baik. "Mungkin Sintia yang di pojok belakang sana, lu, kan, sendiri." Tambah gue memberikan solusi agar kita bisa duduk berdua daripada sendiri-sendiri.

"Ah, Ar, nggak mau gue, lu, kan, kompor meleduk. Entar gue lu bunuh lagi salah dikit."

"Eh, sembarangan! Gue bukan kompor meleduk, ya."

"Nah, itu!" tunjuk dia, gue termenung. "Dita aja selama hidup, bilang nggak enak duduk sama lu," tambahnya mengompori gue.

"Jangan asal ngomong lu, ya, pake bawa-bawa temen gue lagi. Dia itu sudah tiada!" gue mendengus kesal, semua terdiam, gue duduk karena tidak ada yang mau isi bangku kosong itu kecuali gue. Dan gue sadari bahwa teman satu kelas gue, menginginkan gue yang duduk di sana. Seolah-olah Dita mati karena gue, dan gue harus menyesali perbuatan gue. Gue kemudian memikirkan ulang apa yang terjadi sebelum Dita wafat. Gue ingat tidak terjadi apapun, bahkan kita berdua bercanda bersama, dan kala itu ada saksi Kak Sandi. Saat sendiri meskipun guru mapel mengajar, gue sering menangis dalam diam gue meratapi kepergian Dita dengan melihat foto bareng kita bertiga. Pelajaran pertama dan kedua, selesai begitu saja, tanpa gue sadari, gue bisa mengerjakan soal hitungan pelajaran Matematika dan Fisika begitu saja meskipun tanpa Dita dan orang lain di kelas gue. Gue excited melihat perkembangan gue, gue harap besok gue bisa ke jurusan IPA, seperti Kak Sandi. Teman-teman di kelas IPA orangnya fokus, karena banyak mikir, tidak ramai, dan ucapanya bisa di pertanggung jawabkan sebab, mereka menemukan kebenaran melalui sebuah praktikum bukan sekadar opini belaka.

Bel istirahat berbunyi, gue ke kantin bareng yang lain. Gue berjalan membuntut di belakang mereka, meskipun gue tak diakui dan diajak bicara. Yang gue tahu, apapun kondisi gue, gue harus mengisi energi di tubuh gue karena itu kebutuhan gue. Mau gue bahagia, susah, sedih, lunglai, dongkol, gue harus makan dan itulah yang membuat gue harus percaya diri meskipun berjalan sendirian, dan tatapan gue ke bawah walaupun badan gue tegak. Gue melihat sekeliling, semua tempat duduk di kantin penuh. Niat gue mau beli roti saja lalu gue bawa ke dalam kelas, karena jika beli nasi atau mie, di sekolah terdapat aturan tidak boleh makan dalam kelas. Meskipun berbekal, wajib makan di kantin sekolah, kecuali makanan kering seperti roti-rotian dan snack.

"Duk!"

Suara tubuh yang menabrak gue dari arah belakang. Gue merasa biasa saja, kan, gue sedang di kantin dan sedang ramai. Gue tetap membudayakan untuk antre, tapi, semakin gue diam semakin berkali-kali tubuh seseorang menabrak gue seperti disengaja. Gue yang merasakan ketidaknyamanan itu karena menyentuh bagian tubuh belakan gue, gue pun menoleh. Ternyata benar itu anak-anak iseng dari kelas lain, gue pun mencari jalan lain untuk menuju Ibu penjual roti.

"Duak!!"

Kali ini tubrukan itu semakin kuat hingga tubuh gue menabrak seseorang di depan gue yang mana ternyata itu Kak Sandi. Gue pun menyegerakan diri untuk meminta maaf ke senior gue itu. "Kak Sandi, maafin gue itu ulah mereka." Ucap gue mencicit lirih dan menunjukan fakta terkait mereka-pelaku sebenarnya.

"Kok lu nggak ngelawan sih, Ari?" tanya dia dengan ekspresi dongkol ke gue akibat gue hanya diam melihat perilaku orang yang tidak baik ke gue.

"Gue nggak ada kekuatan buat lawan mereka. Apa iya, gue mau menuduh mereka saat kondisi antre? Kira-kira gue yang akan dibawa ke BP karena marah atau nonjok, atau mereka yang akan di kasih applause, karena buat gue lemah. Gue, kan, murid yang tidak di suka beberapa guru dan murid-muridnya."

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang