12. Jatuh dalam Dekap Perjalanan

69 37 5
                                    

Gue tidak jadi menuduhnya nanti gue di bilang gila. Kalau di pikir-pikir masuk akal juga dia bisa menjawab sesuai isi pikiran gue. Pola tingkah laku gue, kan, mencurigakan, apalagi wajah gue yang tidak bisa bohong. Gue mengurungkan niat gue dan memilih kembali tenang. Gue melihat dia fokus menghadap kaca mobil, sepertinya melihat pemandangan luar. Anehnya gue tetap menatap dia, Tokichi sempat menengok ke arah gue, dan dia kembali menatap kaca mobilnya. Dia bego apa, ya? Suara hati gue. Gue di sini tapi diabaikan, seolah Tokichi sedang memikirkan sesuatu di balik ketenangan sebagai seorang pria muda. Tangan dia menyangga dagu, mata sendu miliknya mengisyaratkan sesuatu, tanpa senyum sedikitpun apalagi bicara.

"Nggak bosen?" tanya gue memberikan kode.

Tokichi tidak merespons sama sekali. Gue mulai berpikir lagi sikap Tokichi mulai berubah, nih, nggak seperti sebelumnya. Memang sesulit itu, ya, punya dua cewek. Kok gue rasa, gue sebagai selingkuhanya, sih, padahal, kan, gue tunangan sah dia dan bukan tukang tikung. Tapi gue berusaha tenang dan baik-baik saja menerima keadaan ini. Toh juga, kita bertiga sudah mengetahui segalanya satu dengan yang lain. Rasanya gue seperti istri keduanya Tokichi. Gue juga perasaan ke Naira, pasti dia sedih karena merasa di tinggal Tokichi selama beberapa hari ini semenjak kedatangan Om Angga di sekolah waktu itu. Gue pun memaklumi posisi Tokichi yang juga korban dari perjodohan ini, pikiranya pasti ruwet, tidak mudah untuk mengatur segalanya agar terlihat tetap dinamis dan terstruktur. Gue sendiri merasa mulai berlebihan dengan hubungan ini, apa mungkin, cowok remaja pikiranya sudah seberat itu? Enggak mungkin, kan, bisa saja gue terbawa suasana Tokichi yang membisu sehingga, gue lagi-lagi overthinking.

"Punten, Aa, kita langsung antar Non Ari, apa pulang ke rumah?" tanya Pak Bondo, memanggil Tokichi dengan Aa sewajarnya orang Sunda. Gue menatap dia dari samping, Tokichi dengan spontan membalas, "langsung pulang," balas Tokichi.

"Lo! Kok pulang, pulang kemana, nih," spontan gue terkejut atas reaksinya saat ditanya oleh sopirnya. Tanpa basa-basi dia menjawab seperti itu, sedangkan gue saja belum pulang ke rumah. Bukanya harus ke rumah gue dulu?

"Pulang kemana, Tok?" gue mencoba untuk memastikan sekali lagi namun dengan nada yang lirih dan berhati-hati karena suasana hati Tokichi sepertinya sedang tak baik. "Ke rumah gue, Ar..." balasnya dengan lemah. Menurut gue dia kelelahan.

"Sorry, Tok, tapi gue belum pulang, tolong antar gue dulu, ya?"

"Sebentar, Ar...lu bisa main ke rumah gue dan mengenal keluarga gue. Besok kita berangkat sekolah bareng lagi, ya..." balasan dari dia itu membuat gue bingung harus bereaksi apa? Jika gue respons dengan excited, dia akan besar kepala dan gue akan terkesan rendah diri sebagai wanita. Sedangkan jika gue respons dengan cuek, mungkin gue akan dibiarkan terus seperti sekarang dan gue tidak suka dengan dia yang seperti itu. Jadi gue hanya merespons dengan diam. Ujung-ujungnya juga dia tidak bertanya balik ke gue, kenapa gue diam, sepertinya dia memang lelah.

"Ar, lo Cantik hari ini, setiap hari juga, tapi, lo kalau nggak pakai seragam makin istimewa," ungkap dia secara tiba-tiba di hadapan gue yang membuat jantung ini berdetak tidak teratur. Dalam sehari ini Tokichi berhasil membuat detak jantung gue berdisko tanpa ampun. Gue enggak peduli mau lo, lu, liliput sekalian, tapi gue dibuat melayang sama dia.

Buft. Nyess...

Jujur dibalik sifat pemikir gue, dengan dia berkata seperti itu ada yang meleleh di dalam tubuh gue. Rasanya ini puncak dari momen hari ini, seperti ada uap hangat dari tubuh gue menuju ujung kepala gue. Gue yakin muka gue saat ini seperti orang bloon dengan pipi rona yang memalukan. Gue yakin cowok ini bisa baca ekspresi gue, atau kalau nggak, dia belajar psikologi, nih. Jangan-jangan Tokichi dari tadi diam memikirkan hal itu agar gue sememalukan ini. Gue menutup muka gue dengan kedua tangan gue, pikiran gue semrawut memikirkan segala yang diucapkan dia karena sangat relate sama apa yang gue pikirkan dan sebutkan dalam hati gue.

Mustahil ada manusia bisa baca pikiran dan hati orang, 'kan? Nggak logis sekali kalau gue berpikir seperti itu.

"Kayak bocil, Ar, buka, ih," terangnya sebal akibat tingkah kekanakan gue.

"Fix, lu keturunan buaya!"

"Kok bisa?"

"Suka gombal. Brengsek! Muka gue benerin, nih, gara-gara lu, muka gue jadi memalukan seperti ini. Tanggung jawab lu." Gue melipat tangan menyilang ke dada dengan cemberut yang semakin mengerucut. Saat ini juga Tokichi mengunci bibir gue yang semakin mengerucut dengan tangan dia. Kita kemudian saling adu jotos. Gue yang kelelahan memutuskan untuk mengalah dan diam.

"Anggun...." untuk pertama kalinya gue bernada halus padanya.

"Apa..."

"Pusing."

"Sini, bersandar. Lu bisa tidur, Ar..."

"Gue pinjam, ya, pundak lu."

"Boleh, Ar..."

Gue yang pusing jatuh dalam sandaran pundaknya. Mungkin ini efek sakit yang belum sembuh total atau karena pikiran gue yang kacau. Mental gue dari awal bertemu sama Tokichi sampai saat ini dibuat melempem terus. Dia sangat misterius, membuat diri gue kewalahan memahami sikapnya yang berubah-ubah. Tapi, dia menurut gue bisa diandalkan sebagai seorang pria remaja. Bukan! Gue bingung, raganya remaja tapi karakternya cukup dewasa. Caranya memperlakukan orang lain tepat sekali dengan karakter lawan bicaranya, bahkan dia tahu posisi lawan bicaranya saat berhadapan dengannya. Cowok ini buat gue penasaran dan ingin gue rasanya mencari tahu tentang kisah hidupnya, ingin rasanya gue mengenalnya lebih dari ini. Tokichi, terimakasih karena lu sudah mengisi hidup gue yang tertimpa tangga karena nafsu dunia sesaat. Terimakasih sudah memberikan kesempatan keluarga gue untuk bertanggung jawab. Tapi, saat ini Papi gue dan Momi gue pasti lagi berunding, apakah pertunangan ini akan berlanjut atau putus. Tokichi, bagaimana kalau lu, dan gue hanya sesaat.

Saat gue mengatakan sesaat, gue merasa Tokichi mendekap gue, semakin erat, mendekap. Tapi gue abai, mungkin itu hanya halusinasi gue. Tidak mungkin dia melakukanya ke gue. Yang dia suka Naira dan bukan gue. Gue tidak boleh mengharapkan apa-apa dari hubungan ini. Gue tetap memejamkan mata gue, mencoba untuk melanjutkan tidur gue yang perlahan, senyap.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang