20. Di Jiwa yang Feminim

50 24 4
                                    

Setelah 1 minggu gue tidak masuk sekolah selepas kepergian Dita, kini gue kembali bersekolah dengan gaya terbaru gue. Gue rela kehilangan satu minggu gue demi memperbaiki mental, dan batin gue sebelum terlambat. Gue akan belajar giat agar bisa mendapatkan beasiswa saat kuliah kelak di universitas ternama Depok. Gue masih muda, gue harus jadi anak muda yang waras dan sadar akan posisi gue saat ini. Cita-cita gue tinggi, gue akan melanjutkan profesi Bokap gue sebagai jaksa yang adil. Gue akan perbaiki nama baik keluarga gue suatu hari nanti. Dan gue akan menuliskan perjuangan gue ini. Penampilan gue kini lebih feminim, rambut gue curly versi keriting gantung dengan warna dark brown, gue bukan si anak pirang lagi sekarang. Rok gue lebih pendek dari sebelumnya dan yang lebih epik lagi, gue dandan. Gue mengikuti fashion terkini tentang make up remaja di Youtube, dan TikTok. Anak-anak pada pangling lihat gue, gue hanya membalas tiap pujian mereka dengan senyum. Ini semua yang dulu pernah diminta oleh Dita ke gue. Gue menyesalkan hal itu karena tak kunjung mengabulkannya. Diam-diam ada yang ngambil foto gue dari samping dan dikirim ke grup perdamaian itu lagi. Gue marah, ternyata itu ulah si Bagas.

"Lu ngapain ngelakuin hal itu, sih, Gas?" bentak gue.

"Biar tunangan lu tahu bahwa cewek aslinya ada di sini lagi ngebutuhin dia," tegasnya. Baru kali ini gue lihat ketegasan dari wakil ketua kelas yang konyol. Gue terdiam, dan duduk kembali menatap bangku kosong di samping gue.

"Semiran kamu, ya. Nyalon di mana, Ar," tanya Siska ke gue dengan nada aneh seolah menguji jawaban gue seperti sebuah serangan bernada lembut juga sebal.

"Ini bukan semir permanen, hanya sampo saja. Besok juga kembali lagi." Gue sengaja bohong ke dia, entah bagaimana ceritanya gue ikuti naluri gue untuk berkata demikian.

"Oh, hahahaha. Aku kira kamu perawatan, isotop." Dia mengejek gue. Dia yang awalnya berkata agar gue baik-baik ke dia karena tidak pernah memanggil gue si isotop kini berubah juga. Gue menjadi sedikit kalem dan membalas dengan hal yang sama. "Aku kira kamu pintar, ternyata kamu bodoh juga, ya, si anak guru BP! Mana mungkin rambut pirang di kasih sampo warna bisa semerata ini hasilnya?!" ungkapan gue membuat dia menciut. Dia pun melakukan trik manipulatif.

"Wow! Ari semenjak di tinggal Dita jadi suka berbohong, guys..." umum dia di depan teman sekelas gue. Entah apa yang membuat gue jadi melow dan feminim sekali, bahkan perasaan gue sensitif. Gue langsung baper dengan tindakan Siska baru saja yang membuat teman-teman satu kelas gue langsung percaya. Gue terdiam-tidak memberikan klarifikasi. Gue tahu Siska tidak pernah manggil gue isotop, tapi kali ini berbeda termasuk dari nadanya saat berbicara. Tiba-tiba ada yang sakit di dada gue hanya karena ucapan dari Siska yang sebenarnya biasa saja. Teman-teman menyoraki gue di kelas, ada juga yang terdiam, pun, terbahak. Gue melihat murid wanita dan lelaki sama saja tak jauh beda. Khoiril dan Bagas sebagai ketua dan wakilnya mencoba menenangkan keadaan di kelas.

"Isotop..." Tokichi tiba-tiba datang di kelas gue dan menyebut gue isotop untuk kedua kalinya. Gue yang sensitif, mulai overthinking, kenapa bisa di saat waktu tenang setelah ricuh dia datang dengan sebutan yang sama seperti Siska? Apa ini kebetulan, ya Tuhan. Kian bertambah sakit dada gue. Tak ada angin, tak ada petir, Anggun Juga panggil gue isotop. Disaat gue menjadi sangat sensitif, gue merasakan perubahan di sekitar gue yang menurut mereka biasa saja.

"Ada apa...?" gue bertanya lembut, mendatangi dia dan bukan dia yang mendatangi gue seperti biasanya ke bangku gue yang memang ada di bangku tengah deretan ke 2 sebelah pintu.

"Lu ada waktu nggak? Nanti malam gue ultah dan ngadain pesta di rumah."

"Iya... Gue sempetin."

"Makasih ya, omong-omong kursi Dita nggak ada yang mau ngisi, nih?" Kata Tokichi, dada gue sakit kembali. Dalam hati gue, lu kok tega berkata seperti itu ,Tok.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang