37. Gara-gara Tteokbokki

18 7 0
                                    

Bacaan puisi kami telah selesai, dan di sambut dengan tepukan tangan dari teman-teman sekelas kami termasuk Tokichi.

"Mendalam sekali, ya," kata Bu Ina melemparkan senyuman pada kami berdua. Kita pun hanya meringis seperti orang bloon. Apalagi gue yang masih saja gemetaran meskipun telah duduk di bangku gue lagi.

"Mendalam, iya, tapi yang baca nggak ada yang kalem," candaan dari teman lelaki di kelas gue. Karena memang kami berdua membaca puisi dengan grogi dan bergetar, suara kami tidak stabil apalagi intonasi suara gue. Gue yang memang aslinya bernada keras.

"Hahaha," tawa dari cowok itu dengan terbahak-bahak.

"Gak apa, kalau begitu ayo, kelompok mu yang maju." Kata Bu Ina menunjuk kelompoknya. Gue mengumpati cowok itu, dia hanya membalas gue dengan tawa. Namanya Rizky, dia memperkenalkan diri dan judul puisi di timnya. Dia yang awalnya bersuara lantang saat menghujat dengan candaan kini, mengisut juga saat di depan kelas. Bu Ina tetap memaksanya untuk tampil membacakan puisi milik tim mereka. Gue mendengar dengan saksama diksi dari mereka yang berjudul Aksa Holokaus—jauh penghancuran—berisi tentang sejarah peperangan besar dunia ke 2.

Pelajaran jam pertama dan kedua telah selesai. Entah apa yang membuat gue hari ini malas ke kantin. Tokichi memeriksa gue yang melamun, memastikan gue tak apa. "Kamu ngapain, Tok. Kamu pikir aku nggak liat?" gerutu gue yang sadar dengan tingkahnya. Dia mengingatkan gue kalau enam bulan sudah berlalu sampai bertemu di pernikahan kita kemarin, lalu dia menyampaikan apa gue sudah persiapan untuk ujian semester ganjil?

"Iya, loh, ya, nggak terasa cepat sekali waktu berjalan." Gue hampir lupa kalau tadi malam gue nikah sama dia. Gue lupa kalau ini sudah melebihi pertengahan tahun.

"Hem.... By the way, tadi puisinya buat siapa?" tanya Tokichi dengan penuh kecurigaan.

"Buat gue sama Vivi dong..." jawab gue dengan ekspresi lebay, dan lupa lagi untuk bicara aku, kamu.

"Oh, sekarang sudah ada pengganti Dita, ya."

"Ck, kamu ini Tokichi, sekarang sudah mulai to the point, ya," balas gue mendecak lalu mencubit perut kerasnya.

"Kamu itu, Ar, selalu cubit perut," protes dia.

"Bagus dong, nggak ada yang berubah!"

"Sekarang aku suamimu, kamu harus nurut," desis dia mendekat ke arah gue. Gue memprotes dia karena sudah berani atur gue. Masih bagus gue turuti kemauan dia untuk aku, kamu dengannya, tanpa protes. Dia pun meminta maaf ke gue, dia yang memaksa pernikahan ini jadi, dia juga harus menyetujui kesepakatan bersama. Dia sendiri yang berkata tidak akan mengatur gue, dan membebaskan gue memilih tanpa meninggalkan gue, dia juga yang sok pahlawan mengatakan agar gue menentukan masa depan gue dengan tetap belajar, dan tanpa takut ditinggalkan.

"Oh, ya, nanti masak apa di rumah."

"Makan masakan Momi dong, Tok..."

"Eh... tapi gue maunya buatan lu."

"Ah, kena lu sekarang. Lu lupa, kan, aku–kamu. Hmm... tau rasa, kan, sekarang? Susah, 'kan?" tunjuk gue yang dengan bahagia memergoki dia salah—tidak menepati perintahnya sendiri.

"Ehehe... iya, nih. Seingetnya aja, ya," bujuk dia menggaruk rambut kepalanya sendiri.

" Hem! Jujur, gue nggak bisa masak."

"Eh, buset! Cewek gak bisa masak?" Tokichi terperanjat mendengar pengakuan gue, dan gue hanya cengar-cengir menatap dia.

"Alah...kamu, kan, bisa pesan makanan online. Pilih mana? Aku masakin kamu terus masuk rumah sakit? Apa beli tapi kamu masih sehat?" saran gue memberinya pilihan yang menurut dia nggak masuk akal.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang