42. Tokichi Meratukan Gue

11 5 0
                                    

Tokichi di puskesmas mengajak bicara gue. Dia bertanya kenapa gue berbuat baik pada orang yang sudah mencelakai gue. Gue pun menjawab, "ini semua hanya perkara sakit hati!" Sakit hati di masa lalu yang menggunung akibat dipendam sampai masa kini. Gue pun berkata bahwa Naira dulu baik tapi gue terhasut oleh Dita. Tokichi memberikan wejangan ke gue sebagai istrinya, kalau gue terlalu baik ke cewek itu. Bisa saja dia kembali ke asalnya dan berulah lagi. Dia juga berpesan, agar besok saat di sekolah gue tidak memihak siapapun dan fokus pada kebaikan gue sendiri.

Setiap kata-kata Tokichi terputus dan segera memeluk gue. Membuatnya murung di tambah melihat wajah gue dan tangan gue dipenuhi memar. Gue dibawa ke puskesmas bukan rumah sakit—karena yang terdekat, dan diberi pengobatan ringan bahkan, Om Angga dan Tante Dara juga memberikan fasilitas perawatan kejiwaan ke gue setelah kepulangan gue. Papi, Momi gue terkejut saat gue dinyatakan memiliki trauma batin yang mendalam terkait hubungan keluarga, dan pertemanan sehingga, gue melampiaskannya dengan cara menyakiti diri sendiri. Ada banyak luka yang tidak banyak mereka ketahui termasuk Tokichi. Luka itu gue simpan dalam-dalam sendirian.

"Kamu, 'kan? Oh, enggak ini salahku," ungkap Tokichi. Dia tidak berani lagi mengatakan kok, dan, kan, atau sekedar berbicara ngotot ke gue.

"Apa?" jawab gue sendu melihat penampakan diri gue sendiri di cermin puskesmas."

"Mulai sekarang bicara terbuka, ya, ke aku."

"Nggak bisa semudah itu, kamu ingat, kan, dengan perlakuanmu ke aku dari kelas X termasuk paksaan dari orang tuamu?"

Tokichi hanya mengangguk tanpa menyela sedikit pun. Seperti yang gue ketahui dari Om Angga bahwa keluarga mereka mengerti tentang psikologi seperti keluarga Siska. Tokichi, sepertinya tahu cara untuk menyembuhkan gue yang mulai menuju depresi.

Malamnya, kita masih tidur terpisah mengingat umur yang belum pantas, sepertinya. Tanpa mereka semua tahu, setelah tekanan demi tekanan gue alami namun gue tutupi dengan berbagai cara sebenarnya, di mimpi atau alam bawah sadar gue kalah dari masalah di dunia nyata. Gue sering sekali mimpi buruk, tapi gue tidak mengigau. Semua terjadi seolah tidak terjadi apa-apa. Alhasih, bukan bangun tidur membuat gue segar malah sebaliknya, gue berpikir hanya kerjalah tempat pelampiasan satu-satunya. Kini gue tidak kerja sesuai permintaan Tokichi namun, dia juga harus siap saat gue meminta-minta padanya, dan gue tidak mau jika uang itu hasil kerja dari orang tuanya, gue mau itu benar-benar uang miliknya sendiri.

Hari itu hari Minggu, Tokichi mandi di rumah gue dan dia memanggil gue dengan telanjang dada, dia ingin ganti baju. Gue protes dia, karena biasanya ganti di kamar mandi. Gue malu, muka gue sepertinya memerah, telinga gue panas melihat bentuk roti sobeknya untuk kedua kalinya. Dia pun menurut dan berpindah tempat untuk ganti baju. Gue yang masih terpikirkan dengan kejadian kemarin, suka sekali berdiam diri dan memikirkan kembali kalau Naira itu sebenarnya setia, tapi juga balasanya menyakitkan. Dia pikir karena gue anak orang kaya—dulu—sebelum papi jadi mantan jaksa agung—itu semua tidak seperti yang dia pikirkan. Menjadi seorang anak petinggi itu tak mudah, kita sering terlibat hal yang tidak pernah kita tahu akibat perbuatan orang tua. Ujungnya kita dirundung dan dijauhi, itu bukan dosa kami, kami tidak tahu apa-apa tapi terkena imbasnya.

"Ar... kamu kenapa?" panggilan Tokichi membangunkan gue dari lamunan panjang. Gue menjadi tak fokus saat diajak bicara. Dan bergegas merubah ekspresi gue kembali seperti sedia kala. Jujur gue takut jika menjadi seperti Naira di kemudian hari. Tidak ada yang tahu kapan rodanya di putar. Gue harap gue tetap menjadi diri sendiri dengan segala prinsip yang gue pegang selama ini.

Minggu ini kita berdua pergi ke gereja bersama, Tokichi yang mengendarai mobilnya, usia dia sudah genap 17 tahun tapi, ya, begitu deh, mumpung minggu—tanpa SIM A pun, hayuk. Kemudian kami keluar membawa Gendis jalan-jalan menuju Allianz Ecopark—taman wisata alam—kami duduk di gazebo untuk makan dan berfoto lalu mengelilingi tempat-tempat yang ditunjuk si kecil Gendis. Terakhir, kami menaiki perahu kayuh. Gendis bahagia dan tertawa terbahak-bahak, anak kecil itu ceria sekali sampai terlihat gigi ompongnya tepat di bagian dua gigi taring yang baru saja tanggal. Tokichi juga ikut tertawa saat adik gue tertawa sambil mengayuh perahu kami. Kita juga bermain air disana dan berfoto bersama hewan-hewan dengan asyik. Kami akrab dengan alam disini, dan menikmati segala sumber energi yang alam kasih ke dalam hati dan pikiran kami, khusus hari ini. Saat pulang, Tokichi bicara ke gue kalau kita akan segera menetap di rumahnya, gue pun bertanya apa alasanya?

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang