41. Cara Sikapi Konflik

12 4 0
                                    

Gue mencoba untuk rileks seolah baik-baik saja dengan jebakan dari Naira dan kelompoknya. Gue percayakan semua pada Tokichi dan Kak Sandi. Jika Tokichi percaya sama gue, itu sudah lebih dari cukup setidaknya dia tidak lagi Tokichi di hari ulang tahunya seperti malam itu. Gue nggak minta lebih dari itu dan cukup dengan sebuah kepercayaan saja darinya. Entah bagaimana jadinya jika Tokichi tidak percaya sama gue, mungkin dunia gue akan hancur. Sudah kayak orang yes saja gue. By the way, gue lagi nulis di diary gue soal cerita ini. Hari ini adalah, hari terakhir ujian, gue fokus dengan ujian gue. Gue juga meminta Tokichi untuk melakukannya daripada fokus pada Naira.

Saat berangkat sekolah entah mengapa Tokichi menyebut nama Kak Sandi, yang mana kemudian Kak Sandi datang menemuinya di kelas.

Oh, dua lelaki itu memiliki ikatan batin yang kuat, monolog gue tunjuk mereka dari kejauhan. Namun kali ini gue merasa sedikit aneh dengan gelagat Naira. Gue tahu, Tokichi sedang menguji Naira, tapi semakin ke sini Naira aksinya semakin menjadi-jadi. Yang gue takutkan, Tokichi nggak bisa fokus dengan ujian terakhirnya.

"Kak Sandi, Tokichi, kalian sudah belajar belum."

"Ujian gue, kan, udah selesai," elak Kak Sandi.

"Tolong Kak jangan ganggu orang ujian, ya, ini, kan, hari terakhir. Di rumah aja kalau memang penting." Saran dan kritik gue ke mereka. Gue orangnya transparan dan terbuka untuk komunikasi dua arah yang baik agar tak ada salah paham. Naira juga ikut mendengarkan teguran gue, dia pergi ke bangku ujiannya.

Ujian hari ini hanya satu mata pelajaran saja yaitu, Penjaskes. Selesai ujian gue berniat untuk langsung pulang.

"Ari Jovita," seseorang memanggil gue dengan lantang dari arah belakang.

Suara ini.... batin gue. "Naira," sebut gue setelah menoleh ke belakang.

Ternyata itu Naira dengan kelompoknya tanpa Alexa. Gue sudah paham dengan maksud mereka mendatangi gue. Gue yang sedang melihat mereka kemudian menatap lantai kelas XII. Kak Fina memantau gue dengan kedua temannya. Sedangkan, Kak Sandi bersama Tokichi berada di kelas sebelah. Mereka bersiap dengan hp masing-masing. Gue pun bersiap dengan posisi gue saat ini.

"Ada apa?" tanya gue. Naira tidak berkata apapun dan hanya menunjukan bukti videonya.

"Itu lu, kan," tuduhannya ke gue, dimana gue sudah mengetahui akting dari mereka. Yang mana mereka mengatakan sesuatu hal untuk mencoba men-trigger gue, namun sayang, mereka tak bisa apa-apa karena, gue nggak sendiri.

"Iya itu gue," jawab gue dengan santai.

"Lo tau, kan, waktu itu gue keracunan?"

"Gue hanya melihat lu tanpa tahu kronologinya."

"Gue diberi roti oleh Alexa setelah dia berbincang sama lo, Ar."

"Wow! Bagus dong, enak, 'kan?"

"Lu kok masih santai, sih."

"Terus gue harus bagaimana? Gue, kan, nggak deket sama lu dari kelas X."

"Jadi karena lo nggak deket sama gue, lo bisa seenaknya racuni gue dengan membujuk Alexa," tukasnya tanpa tahu apakah itu benar atau salah. Gue hanya meyakinkan diri gue bahwa gue tidak akan kalah sama orang yang hidup bergerombol. Gue jauh lebih elegan dan rapi dibanding mereka yang ramai.

"Enak aja lu, jangan fitnah dong. Dari dulu emang lu tukang fitnah, ya." Cibir gue yang tak terima dengan tuduhan darinya. Gue saat di dekat Naira, merasakan hal buruk selalu. Perasaan tak enak ini seperti pengetahuan yang gue baca terkait vampire energy—orang yang memiliki energi gelapmenyedot energi positif orang lain yang di dekatnya.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang