27. Kesepakatan Kami

15 10 0
                                    

Setelah dia selesai membersihkan seragamnya di rumah gue, dia pun keluar dengan kondisi pundak hingga dada yang basah. Gue makin tertawa keras, Momi dan Gendis pun sampai ikut tertawa. Kata Momi, Anggun akan dapat rezeki, tapi Anggun hanya tersenyum—sepertinya orang yang belajar psikologi kayak dia tidak mungkin percaya tahayul.

Kami pun pamit berangkat. Setelah selesai mengantar Adik gue, Tokichi tiba-tiba menjatuhkan kepalanya di pundak gue. Gue pun protes bahwa dia berat, sebenarnya bukan itu tapi gue sudah enek saja ke dia. Tokichi balik memprotes gue, dia bilang tubuhnya, kan, kecil, apa, iya, berat?

"Berat dosa lu maksud gue," refleks gue tanpa rem seperti ini lagi mulutnya. Gue pun meminta maaf ke dia. Akan tetapi dia tak marah, dan kembali memperlihatkan senyam-senyum aneh itu seperti dahulu. Gue pun tidak mau dibodohi kembali olehnya. Gue mengabaikan senyuman dia dan berpaling muka

"Ar, yang bener aja lu," dia marah. Gue yakin egonya mulai bermain kembali.

"Lo! Lu kok nyolot," sahut gue. Gue tidak mengerti apa maksud dia memprotes gue. Kita ini memang bukan siapa-siapa. Gue pun memperjelas hubungan kita agar dia sadar diri di hadapan gue. Gue mau kita fokus dengan ujian.

"Gue mau liat lu turnamen," ungkapnya dengan sendu.

"Lu, kan, harus ujian. Lagian lu kok sedih gitu, lu mau liat gue benar tulus liat gue, apa terpaksa!"

"Tulus, Ar. Kalo lu nggak ujian gue juga nggak."

"Ih, ngambek! Kek bocah lu."

Tokichi pun bertanya panjang lebar ke gue namun ujung-ujungnya hanya satu kalimat yaitu, apa gue tidak akan memberinya kesempatan lagi? Gue mau bilang tidak ada karena kesempatan yang gue beri padanya itu sudah lebih dari 3 kali. Dia selalu ingkar dan berdusta. Gue tidak suka pendusta. Tapi hati gue tidak bisa, gue saja ingin marah sama diri gue sendiri, kok bisa-bisanya gue seperti itu. Gue akhirnya luluh dan berkata bahwa ada kesempatan lagi buat dia, dengan syarat.

"Apa?" tanya Tokichi ke gue dengan penuh harap.

"Kalahkan Kak Sandi," jelas gue melirik ke arahnya dengan melipat kedua tangan ke dada agar terlihat lebih dominan.

"Kenapa Kak Sandi..." ucapnya lembut.

"Karena lu sudah membuat nama baik Kak Sandi buruk bersama teman-teman lu juga Naira and the gang." Gue berterus terang padanya. Gue disini tidak memberikan celah padanya untuk bicara. Tak ada lagi alasan buat dia untuk mengelak dari semua kesalahan apalagi menolak kebenaran.

Tokichi bilang, dia takut dengan senior kita itu karena pernah mendapatkan pukulan sekali darinya. Gue pun menjawab, jika dia tetap seperti itu, dia tak pantas untuk gue apalagi menikah.

"Kak Sandi nyuruh lu sadar diri. Laki-laki nggak cukup kaya saja buat menjaga seorang wanita yang dia sayangi. Makanya dia memukul lu biar sadar bahwa kelakuan lu sudah di luar batas kewajaran."

Mobil mulai jalan perlahan, ternyata kita sudah sampai. Gue melihat gerbang akan segera ditutup, gue juga hampir lupa bahwa hari ini masih ujian—masuk kelas lebih awal pukul 07.00 WIB. "Gue minta maaf Ar..." kata Tokichi memelas ke gue.

"Terlambat!"

"Kok, maaf terlambat?"

"Gue terlambat kalo lu menghalangi jalan gue, Tok. Lihat gerbang mau ditutup!"

"Oh iya...maaf."

"Awas, minggir!"

Kita berdua berlari masuk ke sekolah hingga lobi Tokichi berkata, "Ar, permintaan lu, gue setuju. Tapi lu harus janji setelah gue bisa satu kali saja memukul Kak Sandi, lu harus nikah sama gue meskipun kita masih kelas XI."

Gue melihat ekspresi muka dia terlebih dahulu sebelum menyetujuinya. Setelah gue yakin dia tak bohong dan meskipun hanya satu pukulan saja, tak apalah. "Ok, tapi, lu harus mau untuk dilatih terlebih dahulu sama Kak Sandi di bawah pengawasan gue."

"Siap."

Sepulang sekolah setelah ujian hari ketiga selesai, Tokichi berkata bahwa dia ingin menemani gue besok saat turnamen akan tetapi, gue tidak menyetujuinya. Dia tetap harus ikut ujian, gue tak ingin masalah gue membuat orang lain rugi. Gue harap emosional yang menggebu-gebu itu, dapat diredam, jika, dia ingin memperbaiki kesalahan maka dia berhak untuk fokus pada dirinya juga memaafkan kesalahanya sendiri tanpa harus mengemis ke gue. Jika seorang cowok yang masih remaja, memang benar-benar ingin menikah maka pastikan bahwa dia telah siap dengan segala konsekuensinya. Tidak boleh kekanakan, dan jangan menjadikan umur sebagai alasan apalagi status remajanya. Gue berhak tegas, karena ini menyangkut hati dan masa depan gue.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang