Rapor telah keluar, Papi gue yang mengambil rapor gue. Gue mendapatkan peringkat paling rendah tapi masih bisa naik kelas meskipun dari hasil ujian susulan. Teman sekelas gue, semuanya diam. Tidak ada satupun dari mereka yang berani menghina gue di grup WhatsApp. Gue sempat terpikirkan dalam kamar gue, entah apa yang telah dilakukan Om Angga malam itu atau setelah malam itu—pesta ulang tahun Tokichi. Gue nanti juga akan mengetahuinya saat Tokichi membuka mulut, sesuai dengan ucapannya.
Di rumah, gue yakin bahwa gue harus mengambil jurusan IPA. Kalau dipikir-pikir tanpa gue lihat atau membeli kunci jawaban ternyata hanya dengan modal belajar pun nilai IPA gue bagus secara bersih, sehingga gue memutuskan masuk di penjurusan IPA. Malam itu gue datang ke rumah Kak Sandi untuk bertemu Anton.
"Anton, aku terima kasih sekali atas bantuanmu selama ini. Nilai ku bagus, Ton, bersih dari kunci jawaban atau contekan, hehe."
"Aku hanya membantu sedikit, kamu memang anaknya giat pantas dapat nilai bagus."
"Ya dong.... hem, meskipun ada susulan dan sempat sapu jagat, sih, hahaha." tawa kami bertiga.
"Setidaknya lu naik kelas, 'kan?" Kak Sandi berusaha membangkitkan gue lagi agar tidak pesimis dengan pencapaian gue. Dia terkejut melihat gue seperti ekspresi si Tokichi waktu itu. Gue bilang padanya jika gue akan mengikuti jejak dia untuk masuk di kelas IPA, karena nilai gue bagus di semua pelajaran IPA.
Gue pulang jam 20.00 WIB, dan menunggu sesi latihan antara Tokichi dan Kak Sandi besok. Gue tidak sabar melihat si lembayung di hajar habis-habisan oleh Kak Sandi. Gue malam ini kembali mengompres luka lebam gue di kamar, sendirian.
"Selamat pagi dunia..." sapa gue melihat Papi, Momi juga Gendis. Hari libur ini enak sekali. Kami pun meminum susu kambing lagi. Dan rencana jam delapan pagi ini gue akan periksakan kulit gue sebelum pergi ke rumah Kak Sandi. Gue menyapu, olahraga, lalu mandi. Kami pun berangkat bersama dengan mobil biasanya. Nasib baik keluarga gue tidak jatuh-jatuh amat masih ada keluarga Tokichi. Sesampainya di ruang kontrol, dokter bilang kondisi gue membaik, meskipun gue ikut beladiri. Bahkan merah-merah di kulit tubuh bagian dalam gue perlahan hilang. Gue yakin ini karena susu kambing dan olahraga rutin gue. Bokap dan Gendis pun akan mengikuti jejak gue untuk melakukan hal yang sama meskipun tidak berlatih seni beladiri. Setidaknya kulit mereka membaik meskipun sensitif tetap terjaga keelastisannya
Setelah selesai tepat jam sepuluh pagi gue berangkat ke rumah Kak Sandi. Lapangan gue lihat masih kosong, gue pun memarkirkan motor gue, akan tetapi gue tetap memakai sweater. Gue ditemui Anton, dan gue bertanya padanya, kemana mereka?
"Dia sedang berlatih sama tunangan lu."
"Lapangan kosong," tunjuk gue.
"Lari, Ar... mereka lari sebelum mulai."
Anton bilang Kak Sandi mengirimkan foto Tokichi saat tahu gue datang. Setelah Anton membagikan ke gue, gue pun tertawa juga sedikit terharu melihat keseriusan Tokichi buat menikahi gue. Dia itu anak manja tapi kenapa juga punya sisi seperti itu. Gue sampai bingung apakah dia itu, dewasa, manja, atau bagaimana? Sisinya misterius sekali dan langkahnya sulit untuk di tebak. Gue melanjutkannya ke Om Angga. Gue mengatakan yang sebenarnya agar Om Angga tidak salah paham.
Om Angga
Om ikut saja sesuaikan dengan mu Ar. Memang Anggun juga berhak belajar untuk bertanggung jawab atas segala kesalahanya.Karena lama, gue pun balik. Itu agar Tokichi fokus saja dengan latihannya. Di rumah Momi gue masak opor banyak, Nyokap bilang gue harus menemui ibu alm. Dita. Gue yang telah lama tidak berkunjung di rumah nyokap alm. Dita, pun berangkat. Momi gue membawakan buah, juga opor itu. Momi gue tidak bisa ikut karena kurang enak badan akibat lelah bekerja, sehingga gue mengajak Gendis malam itu juga sekitar pukul 20.00 WIB. Sesampainya di sana gue disambut dengan baik seperti biasanya.
Gue menanyakan kabar beliau, dan beliau menjawabnya baik namun, gue melihat tidak seperti itu, tapi gue tidak berani juga untuk membenarkannya. Gue menanyakan kesibukan beliau, namun jawaban itu membuat gue terkejut. "Tante nggak kerja di butik lagi karena sakit yang diderita tante. Sekarang Tante buka usaha katering di rumah."
Gue pun melihatnya, papan katering itu saat di jalan masuk perumahan rumah alm. Dita. Gue bertanya siapakah yang membantu beliau? Beliau bilang ada tetangga dan saudaranya. Karena gue lihat beliau tampak lelah, gue pun pamit pulang. "Kalau begitu Ari pamit pulang, ya, Tante, sudah malam, Tante bisa istirahat."
"Sebentar..."
Nyokapnya alm. Dita mengembalikan rantang makan yang telah dicuci ke gue dan mengatakan terima kasih banyak pada Momi gue. Beliau menyampaikan salam untuk Momi dan Papi gue juga.
Saat ini gue telah sampai di depan rumah dan akan memasukkan motor gue. Gue minta bantuan pada Gendis untuk membuka pintu garasi. Omong-omong, rumah gue itu memiliki taman leter-u, dan berdekatan langsung dengan jalan raya—tanpa gerbang. Meskipun begitu untuk mencapai ke rumah gue, tamu siapapun harus tetap melewati taman depan yang membentuk leter-u tersebut.
"Brumm..." suara sepeda motor yang telah terparkir depan teras rumah gue.
"Lo!Pak Bondo, kenapa bawa koper di sini?" gue lihat sopir pribadi mantan tunangan gue itu membawa motor matic, dengan koper medium di depan.
"Ini...Aa minta bobok sini," terangnya.
"Astaga!" gue terkejut mendengarkan balasan dari Pak Bondo. Yang membuat gue semakin terkejut lagi saat melihat Tokichi memakai motor yang persis seperti milik Mas Galih.
Oh my god, anak ini! Batin gue. Tokichi tersenyum ke gue dan menyapa gue.
"Ari, sudah pulang?" Panggilan dari Momi gue. Gendis berlari masuk ke rumah.
"Iya... Mom, boleh minta waktunya? Ari mau bicara sebentar sama Anggun."
"Lo! Ada Nak Anggun. Kok, nggak bilang? Ayo suruh masuk..."
"Iya, iya. Bentar, Mom."
Gue bertanya pada Tokichi tentang tujuan dan maksud dia malam ini mau tidur ke rumah gue. Tapi dia berkata, ini sudah menjadi persetujuan bersama. Gue memprotesnya, jika memang persetujuan bersama, kenapa gue bisa tidak tahu itu. Karena di taman itu penerangan memakai lampu taman yang berwarna kuning, gue tak bisa melihat dengan jelas muka dia. Pak Bondo yang tepat depan teras bergegas masuk membawa koper Tokichi. Gue bergegas membuka hp dan menyenter muka dia.
"HAHAHA, muke lu, gila!"
"Ngapa? Jelek, ya, pada benjut semua?"
"Lagian, kok, bisa, sih, baru pertama kali latihan udah babak belur? Bukanya tadi cuma lari aja?"
"Itu karena gue menantang Kak Sandi duluan. Awalnya hanya lari aja, tapi gue sudah nggak sabaran, Ar. Jadi... ya, gini deh. Gimana? Udah keren kayak lu belum?" tunjuk dia ke muka dia sendiri.
"Ya mana bisa begitu, kan, lu belum memahami dasarnya. Tapi, gue terhibur, sih... yaudah, yuk, masuk. Banyak nyamuk, nih."
Kita berdua pun masuk, dan kami disambut tawa lepas Momi, Pak Bondo juga Gendis. Kita pun makan bersama, namun sebelumnya gue memberikan pengertian terlebih dulu padanya, jika di rumah kami saat makan tak sama seperti kebiasaan di rumah dia. Pak Bondo juga ikut makan. Setelah makan, dia mau membantu cuci piring. "Ah, biasalah...anak perawan kalau mau mengambil hati camer." Sindir gue lantang ke Tokichi.
"Ar, tapi gue bukan perawan?"
"Hahahah..."
Selesai mencuci kami menonton tv bersama, gue bilang ke dia, bahwa dia akan tidur di kamar tamu kalau mau tidur di rumah gue. Dia pun menyanggupinya. Gue juga bertanya mengapa bisa dia menantang Kak Sandi yang sudah menjadi sesepuh di karate sekolah kami. Dia bilang, dia hanya penasaran. Karena saat dalam kata dasar geraknya terlalu kalem.
KAMU SEDANG MEMBACA
END|| Tori Romance || •Djaduk✔️
RomanceEvent Novel Kala Cinta Bersemi Oleh : Penerbitan Dicetakin Tema : Pernikahan Dini Nama Pena : Djaduk Penghargaan: Finalis/juara 5 •••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• ☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️ ••••••••••••••••••••...