26. Hujan dan Tawa

28 14 2
                                    

Hari-hari gue jalani sendiri, gue tetap kerja banting tulang. Sosok Tokichi hilang bak ditelan bumi. Tanpa gue sadari Bu Eni mengumumkan untuk ujian tengah semester di esok hari. Kita yang sedari awal telah belajar dan berjaga-jaga dengan giat satu minggu sebelumnya—diharapkan tidak ada lagi bocoran kunci jawaban. Semenjak kejadian di semester ganjil enam bulan lalu kita semua kapok. Tak terasa pula umur gue sekarang sudah 16 tahun. Hari ini gue harus pulang terlambat lagi karena selepas kerja harus ke rumah Kak Sandi untuk belajar bersama Anton seperti biasa.

"Mana Ar yang kamu enggak tau?"

"Udah, kok, Ton. Aku sudah paham." Gue ke Anton begitu segan, karena hanya dia yang mau terima gue untuk belajar bersama. Gue dulu berharap bahwa Anton adalah Tokichi, namun ini kisah gue, bukan novel biasa. Kak Sandi menatap gue, lalu tiba-tiba tertawa. Gue bertanya kenapa? Dia menjawab; 'gue sok kuat yang malah terlihat angkuh. Gue disuruh melepas topeng, tapi gue bingung topeng yang mana? Di rumah, di sekolah, atau topeng apa?'

"Topeng di hadapan lu sendiri, Ar," timpal Kak Sandi sembari memegang gelas minumnya—menatap gue tajam. Gue pun kepo, dan bertanya kembali, kenapa tatapannya setajam itu ke gue, dia hanya membalas, 'jika ini demi kebaikan gue agar gue sadar bahwa tindakan sok kuat gue ini sudah melampaui batas—dengan meminum air es jeruk miliknya.'

Kak Sandi perintah gue untuk sadar bahwa, gue hanya manusia biasa, hanya seorang anak wanita pertama, hanya seorang murid kelas satu SMA, dan hanya seorang Kakak yang berusaha terlihat baik-baik saja. Dia juga bilang, kalau gue mau nangis, bisa nangis di rumah mereka, jika gue malu menangis di rumah gue sendiri. Setelah Kak Sandi berkata demikian, gue menangis sejadi-jadinya, Anton, dan Kak Sandi tertawa melihat gue, jadi gue juga ikut tertawa tapi menangis lagi.

Hari ujian semester genap datang, pagi gue sekolah, siang gue kerja lagi, malam gue belajar di rumah Anton lagi. Tepat di ujian kedua, sepulang sekolah saat gue sampai di rumah, Tokichi tiba-tiba menunggu gue diteras, kini Gendis dan Momi gue tidak menemani dia lagi setelah tahu dengan kelakuanya, dan keputusan gue malam itu.

Gue bertanya apa mau dia, kenapa mengganggu gue lagi. Bukankah, hubungan kita sudah selesai? Tokichi hanya membalas dengan, apakah gue kerja selama ini. Gue pikir, ini anak kemana saja. Gue saat ini sudah capek malah ketimpa dia, makin capek gue. Sudah malam juga. Inginya di rumah langsung istirahat, eh...ini dikasih masalah baru.

"Om Angga yang kasih tahu lu?" gue berniat memastikan saja, dari pada gue diamkan bisa-bisa dia melempar masalah lagi ke gue. Gue sampai hafal dengan pola pemahaman dia saat memahami ucapan orang lain. Gue bilang A niat baik, dia menangkap B niat buruk.

"Pernikahanya mau gue percepat.''

Sungguh tanpa gue duga, sepatu yang baru saja gue lepas langsung gue lempar. Gue syok dengan keputusan ini orang. Spontan dengan emosi gue berkata, "lu orang apa bukan, sih!"

Gue bingung, rencana apa lagi yang mau dibuatnya untuk gue, gue yang baru saja berbaikan sama Kak Sandi, tiba-tiba saja cowok ini datang kembali, mood gue yang bahagia itu hilang seketika.

Apakah mungkin kita menikah saat pelaksanaan ujian sekolah. "Tokichi lu mikir apa, sih?" decak gue kesal namun berusaha mengontrol diri gue. Dia terdiam, matanya melihat gue dari atas sampai bawah. Gue kegemasan mau mencolok itu mata. Ternyata Tokichi melihat luka-luka di tangan, dan jari-jari gue. Gue yang menyadarinya menutup luka gue dengan mengarahkan ke belakang.

"Gue mau ikut turnamen karate, gue nggak bisa nikah sama lu," tolak gue. Gue pun berterus terang agar dia bisa mengundurkan pernikahan itu. Gue tidak mengerti dengan diri gue sendiri. Kenapa gue, enggak bisa menolak sama sekali, jika Tokichi yang berkata? Seolah-olah dia memiliki trik hipnotis ke gue. Gue juga mengingatkan dia untuk tidak ikut campur dengan kehidupan gue saat ini.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang