Kami duduk sejajar menyandar ke dipan atas bagian kasur dengan guling tetap di tengah.
"Begini ceritanya...Gue kala itu masuk di sekolah menengah pertama negeri perjuangan. Kelas tujuh, gue masuk dengan kondisi badan yang dekil, item, dan gigi nggak teratur, sampai-sampai saat bicara dan makan pun sering kegigit gigi sendiri, jadi gue lebih sering sariawan. Gue nggak mau menggunakan fasilitas dari orang tua gue karena pengalaman SD, gue hanya dimanfaatkan saja. Gue pun berangkat memakai sepeda gunung pria dengan merek murah yang hanya satu jutaan harganya. Benar saja, gue di kucilkan dan di jauhi. Entah itu perasaan gue aja atau gimana, gue mencoba berpikir positif awal di kelas satu SMP. Gue pun yang sendiri harus berjuang banget saat diadakan kelompok diskusi kelas bahkan sampai ada yang ogah, katanya liur gue kalau bicara muncrat. Haha, padahal tidak sama sekali, Ar..."
Sungguh gue yang mendengarnya juga merasakan teman satu kelasnya jahat sekali sampai seperti itu kalau merundung tubuh seseorang. Dia pun izin memulai ceritanya kembali dengan baik, dan pelan. "Suatu hari gue saat akan pulang sekolah tepatnya di parkiran sepeda, ada beberapa sekumpulan anak cowok yang mendatangi gue lalu menjahili gue. Tiba-tiba saja mereka berkata, 'lo pasti anak orang kaya, ya? Gue pikir lo miskin! Setelah di telusuri asal usul lo sama orang-orang gue lo selalu masuk di kawasan perumahan elit! Ngaku nggak lo," bentaknya ke gue keras banget sampai telinga gue berbunyi, nging... gitu Ar." Terangnya ke gue sambil memegang telinganya, gue tetap memerhatikan dia juga tertawa saat dia memegang telinga seolah dia sedang berada di kejadian itu.
"Alhasil uang jajan gue di rampas, begitu terus selanjutnya setiap pulang sekolah dan itu selalu di parkiran sepeda, jadi gue terpaksa ngambil jalan untuk meminta uang jajan ke Mama gue dengan jumlah yang sedikit. Gue pikir dengan uang jajan yang dikit dan habis tiap harinya mereka akan berhenti, ternyata enggak! Sampai suatu waktu setelah seperti biasa gue dipalak mereka secara paksa, datang wanita cantik putih menghampiri gue. Dia protes ke gue, 'kenapa gak ngelawan, sih!' Katanya halus selembut bidadari. Meskipun teriak pun suaranya masih selembut sutera, gue merasa Tuhan sedang mengirimkan bidadari tak bersayap di hadapan gue hari itu. Namun pas gue udah percaya, nih, ya, gue mulai tahu kalo cewek itulah yang nyuruh mereka malakin gue dan mencari asal usul gue. Cewek bejat, nggak tuh!" dia berkata dengan mengenggam tangan gue erat-erat.
"Udah Tok, itu, dulu. Sekarang kamu sama aku, bukan sama mereka. Kalo masih sakit jangan tanganku juga yang kamu jadikan tumbal," tegur gue dengan nada bercanda melirik kearahnya. Dia pun tertawa kecil, lalu gue bertanya siapakah gerangan wanita itu?
"Dia Naira, Ar...Tapi, gue nggak marah sama sekali karena dia teman pertama gue, dan itu pula yang gue lakukan di SD saat gue tahu gue hanya dimanfaatkan. Di tanya ke gue dengan tanpa polosnya seperti nggak punya dosa, bagaimana cara gue bisa tahu kalau itu dia! Gue jawablah kalau gue buntuti orang-orangnya dengan bantuan orang suruhan gue di rumah. Naira, kan, nggak tahu kalau gue bisa saja membuat mereka keluar dari sekolah manapun, asal gue mau dan tega, tapi, gue sadar gue tidak berhak memutuskan impian masa depan mereka dan keluarga mereka. Ternyata meskipun gue sudah belajar dan coba merubah cara jalan pikiran gue, nyatanya pola itu masih berputar di kehidupan gue dengan hal baru yang tidak bisa gue tebak."
Gue dengarkan cerita dia setengah tidur yang tanpa sengaja jatuh di pundaknya.
"Ari jangan tidur, ya...masih jam delapan," panggilannya membangunkan gue. Gue pun gelagapan setelah terbangun, dan mulai mendengar kembali. Gue juga heran, masih sore—baru jam delapan malam—gue terkantuk-kantuk.
"Gue tetap berteman sama Naira, tapi tiap kali dia minta ke rumah, gue selalu menolaknya dengan alasan gue enggak boleh dekat dengan lawan jenis karena masa lalu gue saat SD. Naira pun tersadar bahwa teman-teman gue dari dulu adalah, wanita yang doyan jajan pakai uang orang. Dia tetap bersabar, dan menemani gue demi tujuan dia untuk mengenal orang tua gue sampai mengikuti gue di sekolah kita. Suatu hari, gue lihat orang tua lu datangi rumah gue dengan tergesa gesa, awalnya gue selalu melihat yang bertamu itu papi lu aja Ar, tapi kini mami lu juga ngikut. Sorry, bukan Momi agak susah mulut gue belum terbiasa," izin-nya ke gue, gue tersenyum ke arahnya dan menganggukkan hal itu tanda boleh-boleh saja—sesuka hatinya. Dia pun melanjutkan ceritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
END|| Tori Romance || •Djaduk✔️
RomanceEvent Novel Kala Cinta Bersemi Oleh : Penerbitan Dicetakin Tema : Pernikahan Dini Nama Pena : Djaduk Penghargaan: Finalis/juara 5 •••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• ☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️ ••••••••••••••••••••...