34. Anggun vs Sandi

15 8 0
                                    

Gue masih menatapnya sekonyong-konyong tawanya tidak terdengar lagi. Tokichi mematung, gue bingung dengan sikapnya yang seketika seperti itu. "Lu kenapa, Tok?" tanya gue mengerutkan kedua alis. Bibirnya manyun, refleks, gue kunci pakai tangan kanan gue.

"Ari, Anggun! Ini sekolah!" Tegur dari guru. Yang ternyata sudah berada di tempatnya.

"Eh, maaf, Bu." Jawab gue sopan, dan tertunduk.

Hari ini mata pelajaran Biologi, dan diisi oleh guru yang bernama Sumiati. Kami sepakat memanggil beliau dengan Bu Sum. Bu Sum membukakan materi pertamanya-Bab 1—Menjelajah Sel. Di bab ini, pembahasan awal tentang "pengamatan struktur sel" satu persatu dari kami diberikan kesempatan untuk membacanya—kurun waktu 10 menit—mulai tanya jawab. Mata pelajaran Biologi berlalu begitu saja hingga mata pelajaran kedua.

Ding, dong...

Gue istirahat bersama Tokichi, Naira tidak mengikuti kita. Gue berjalan pelan, sembari melihat Tokichi, sedangkan dia tersenyum ke semua orang yang menatapnya. Gue mencemoohnya, dengan sebutan gila, Tokichi nggak marah sebaliknya, dia hanya berkata—apa—gue pun mengatakan ketidaksukaan gue padanya yang seperti itu.

"Lihat jalan bukan tebar pesona!" seru gue memalingkan muka secepatnya. Dari ekor mata gue tampak dia tersenyum, dan terus berjalan bareng gue sampai kantin. Dia terus saja pandangi gue sampai gue malu, tapi masih bisa gue tahan. Kita pesan 2 mangkok mie bakso, dan 2 es jeruk.

"Makanan kita kok, masih sama kayak di warung depan," decak Tokichi melihat makanan yang gue pesan.

"Dih, lu nostalgia, nih, ceritanya," ejek gue sambil menoel lenganya. Gue duduk tepat di hadapan Tokichi. Jika Tokichi bernostalgia di masa pertama kali kita makan bareng setelah hukuman lari, berbeda dengan gue, gue malah teringat saat gue berjalan di kantin sendirian sampai harus di jahili cowok dari kelas lain. Kala itu gue butuh dia, tapi dia bersama Naira. Kini Naira pasti kesepian, pikir gue. Tak berselang lama, Naira datang dengan teman-temanya, ternyata isi kepala gue salah. Naira yang banyak teman dan pendukung tak pernah kesepian. Jujur sepertinya dari awal gue tidak suka dia karena iri dengan kehidupan dia yang bisa dekat dengan siapapun, bahkan disukai oleh banyak orang. Dia yang tanpa Tokichi saja bisa seceria itu dan masih bisa bercengkrama dengan banyak orang, seolah Tokichi tidak ada apa-apanya di mata dia. Namun gue, gue bisa apa tanpa Dita gue bukan apa-apa, apalagi tanpa Tokichi, untung masih ada Kak Sandi waktu itu. "Tok," panggil gue ke Tokichi yang sedang menyeruput es jeruk miliknya. "Hm," balasnya.

"Sepertinya gue sampai kapanpun akan sulit berdiri sendiri dan sulit membuat tim."

"Tim? Lu mau bikin grup?Lu insecure ke siapa, sih!" tanya dia yang mirip dengan bapaknya.

"Lu persis banget sama Om Angga."

"Lo! Kok jadi Ayah gue, sih. Lu mau ngomong apa, Ar, terus terang aja..."

"Enggak apa-apa."

"Tuh, kan, gue jadi bingung, Ar. Gue bukan dukun loh..."

"Iyaa...iyaa... bos besar bukan dukun!" pekik gue melengking yang membuat siswa lain menoleh ke arah kami.

"Ih, malu, Ar. Lu ngomong kenceng banget. Jangan gitu, ah, kalo lagi bete. Di rumah aja, kan, bisa." Muka Tokichi sekarang di tekuk, gue pun meminta maaf ke dia sebelum dia benar-benar marah ke gue.

Kak Sandi tiba-tiba datang ditempat duduk kami, dia mengambil posisi sejajar dengan Tokichi. Kak Sandi menatap kita berdua dengan penuh tanda tanya. Tokichi bertanya ke Kak Sandi dengan khas suara lembutnya.

"Lu masih cowok, 'kan?" kata Kak Sandi yang semakin membuat dia bete. Bagaimana, tidak, Tokichi yang baru saja melihat gue nggak jelas bersuara melengking seperti itu, kemudian datang senior kita ini dan membuat pertanyaan yang membagongkan bagi kami. Tokichi sontak dengan tegas mengatakan kalau dia cowok tulen dengan memandang Kak Sandi tajam.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang