47 MASA LALU SANG PERAMPAS 2

245 37 8
                                    

Reiver tersadar saat dia merasakan goyangan di pipinya. Ketika kelopak mata Reiver terbuka dan iris kuning-nya bekerja, dia bisa melihat kaki Zora di pipinya.

Dengan sekuat tenaga Reiver berusaha bangun, dan saat inilah dia merasakan sakit dan perih luar biasa. Reiver lihat lengannya, ada beberapa pecahan kaca yang menusuk dalam ke otot, namun tanpa rasa takut, segera saja Reiver cabuti pecahan-pecahan beling itu dari sekujur lengannya.

Baru saja Reiver hendak menanyakan apakah Zora baik-baik saja, tapi wanita yang masih pengar itu malah menampar Reiver keras.

Reiver segera menatap ibunya sembari memegang pipinya. Dia pandangi Zora dengan tatapan bingung dan kecewa. Kemudian untuk pertama kalinya di masa anak-anak, Reiver meneteskan air mata.

"Apa salahku? Mereka mau mencelakaimu tadi malam, aku hanya berusaha menolongmu." Ujar Reiver yang berusaha keras agar suaranya tidak bergetar karena tangis.

"Jika kau memang ingin menolongku, maka pergilah dan jangan menunjukkan wajahmu lagi. Kalau perlu matilah! Kau begitu mirip dengan lelaki itu. Aku begitu benci dengan lelaki itu. Lelaki yang sudah membuatku mengharapkan cinta namun dia pergi begitu saja!" Teriak Zora frustasi.

"Baiklah! Aku akan pergi! Tapi bisakah kau berhenti jadi pelacur?" Tanya Reiver yang berbuah tendangan di wajah dari Zora.

Sekali lagi Reiver pandangi ibunya, walau dia baru saja terjengkang ke belakang. Dia tatap lekat wanita berpenampilan kacau itu cukup lama, karena mungkin inilah kali terakhir dia menatap wanita yang telah melahirkannya.

Reiver usap kasar air matanya, lalu dengan tertatih-tatih dia bangkit dan berjalan gontai namun mantap, beranjak pergi, meninggalkan gubuk itu selamanya.

Disaat Reiver telah sampai di ambang pintu, dia bisa mendengar Zora mengangkat telepon seorang pelanggan. Obrolan-obrolan mesra dan mesum mereka benar-benar membuat tangan Reiver terkepal erat.

Dengan sisa tenaganya yang ada, Reiver pun berlari tak tentu arah meninggalkan tempat tinggalnya.

Pandangan mata Reiver mulai buram, rasa sakit, perih, lapar, haus, kecewa, marah, sedih serta putus asa bercampur menjadi satu. Membuat Reiver akhirnya terjerembab di sebuah gang yang menuju jalananan kota nan padat.

Samar-samar Reiver bisa melihat seorang bos mafia baru saja keluar dari tempat praktek dokter bersama putri kecilnya yang berambut pirang.

Rasa sakit dan lapar yang tidak tertahankan lagi, membuat Reiver—yang dalam kondisi tertelungkup—mengulurkan tangannya ke depan seolah ingin meraih bungkusan obat dan es krim yang dimiliki oleh putri bos mafia itu.

Dengan tekad dan kemarahan serta kesedihan dan kebencian, Reiver berucap.

"Apa salahku? Apa karena aku tetap lahir walau aku tidak diinginkan? Aku tidak masalah makan sampah, aku tidak masalah minum air tampungan hujan, aku tidak masalah tidur di tong sampah. Setidaknya jangan pukul aku lagi. Aku sangat benci dia. Aku.... sangat benci wanita murahan. Aku.....sangat benci jalang! Aku lapar.... benar-benar lapar....aku ingin makan dan aku ingin luka ku di obati...Tolonglah... tolonglah aku...."

Tanpa Reiver sadari gumaman dan tekad dihatinya serta emosi dan penderitaannya selama ini, membuat dia  mampu merampas apa yang ada di tangan anak perempuan bos mafia itu, walau tanpa menyentuh secara langsung.

Ketika es krim dan bungkusan obat itu berpindah tangan ke Reiver, bos mafia pun bergerak cepat dengan energi ability-nya, dan menodong leher Reiver dengan belati. Reiver yang masih kaget akan kemampuannya, hanya bisa terdiam dan terbelalak.

"Kau....punya ability Harrier yang mengerikan bocah." Ujar bos mafia.

"A...ability Harrier? Apa itu?" Tanya Reiver balik yang membuat si bos mafia tercengang beberapa detik. Namun kemudian si bos mafia memperhatikan kondisi mengenaskan Reiver dan dia pun menyadari apa yang baru saja terjadi.

SECOND LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang