14. Kencan

196 36 11
                                        

Gaun telah dipesan. Jon bilang tidak perlu menyewa gedung atau dekorasi. Mereka hanya akan menikah dengan diberkati. Nayara mengiyakan saja. Pernikahan ini hanya formalitas belaka. Jon hanya ingin pelayanannya. Jadi, pasti pernikahan ini tidak penting bagi Jonathan.

"Kita makan dulu, kau pasti lapar," kata Jonathan.

Nayara mengangangguk. Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat jam. Baru pukul sebelas.

"Kau punya ponsel?" Jonathan mengernyit heran.

"Tentu saja. Kau pikir aku semiskin apa?" ketus Nayara.

"Tidak. Ku pikir kau sudah tidak memilikinya," kata Jon. "Aku sudah belikan ponsel baru. Jadi itu buang saja."

"Apa? Enak saja. Mana bisa begitu? Ponselku ini masih bagus. Lagipula siapa yang menyuruhmu membelikanku ponsel. Kau tidak perlu repot-repot," kata Nayara.

"Aku sudah berjanji akan memenuhi semua kebutuhanmu dan aku berjanji pada ibumu untuk menjagamu. Pekerjaanku sudah seperti seorang suami sungguhan, loh. Kenapa kau bicara seolah aku ini tidak usah melakukan ini itu untukmu."

"Kau memang tidak perlu melakukannya. Aku tidak ingin berterima kasih padamu. Oh-itu yang kau inginkan? Maaf, aku tidak akan mengucapkan terima kasih padamu seumur hidupku."

Dari nada bicaranya, Nayara terdengar kesal. Tapi itu malah membuat Jonathan terkekeh. Entahlah, Nayara yang kesal adalah hiburan.

"Teruslah marah dan kasar padaku. Aku suka," kata Jon.

"Cih, brengsek," umpat Nayara.

"Woah, I like that Sweetie. That's cool and cute," balas Jonathan.

Nayara melongo, menatap Jonathan yang sedan menyetir dengan mulut sedikit terbuka.

What the—

Demi apapun, Jonathan memang ajaib.

Nayara berdecak kesal. Enggan bicara lagi hingga keduanya sampai di sebuah restoran korea. Nayara menatap restoran itu. Itu adalah restoran yang sering dia kunjungi saat sedang merindukan tanah kelahirannya.

"Kau tidak lapar?" tanya Jonathan.

"Sebenarnya tidak—"

kruuuk.

Nayara langsung menggulum bibirnya karena baru saja dia berucap tidak, tapi perutnya malah berontak.

Jon langsung tertawa mendengar itu. Tertawa hingga matanya menyipit. Nayara yang melihat Jonathan jadi sangat kesal. Sial! Jon mempermalukannya dengan mudah.

Gosh! Kenapa perutku harus bunyi!

"Kau lapar, sayang. Ayo turun dan pesan makan, hum?"

Jonathan turun lebih dulu diikuti Nayara yang berjalan sambil menghentakkan kakinya. Dari belakang ingin sekali Nayara jambak rambut hitam Jon lalu menyeretnya ke tengah jalan hingga tubuh besar pria itu ditabrak bus. Tapi apa daya itu hanya fantasinya saja.

"Selamat datang!"

Jon tersenyum kecil pada pelayan restoran yang menyambutnya dan memberikan buku menu.

"Silahkan, kalian ingin pesan apa?"

"Coba tanya istriku dulu," kata Jon. "Sayang. Kau ingin pesan apa?"

Nayara menatap Jonathan dengan kekesalan. Jika perutnya tidak lapar, sudah dia cubit bibir tipisnya. Sembarangan sekali menyebutnya "sayang".

"Aku mau japchae saja," kata Nayara.

"Aku juga," sahut Jon.

"Baik, dua japchae. Oh iya aku lupa. Kompornya masih belum panas karena kami baru buka, jadi apakah kalian bersedia menunggu sedikit lebih lama?"

The Wolf Bride [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang