Chapter Tiga

124 72 171
                                    

Happy Reading 🌹

"I Miss you, Bilyla Danina Aludra."

------

Plak.

Mata gadis itu terpejam, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Nafasnya memburu menahan emosi.

"Kamu apain Kakak kamu Danina?" Suara itu... Belakangan ini dia tidak mendengarnya, emm lebih tepatnya sudah lama tak mendengarnya.

"Halo Yah.. udah lama gak ketemu, Danina kangen," ucap Danina sangat pelan. Senyumnya terukir sempurna, tapi siapa pun yang melihatnya pasti tahu itu adalah senyum kesedihan, dari matanya saja jelas terpancar kekosongan.

"Sebenernya lebih baik Ayah gak ketemu kamu Danina, daripada Ayah harus liat kamu nyakitin Kakak kamu," ucapan itu meluncur begitu saja dari bibir Heiga, Ayahnya. Apa Ayahnya tidak tahu bagaimana kondisi hati Danina sekarang? Yah mau bagaimana pun Ayahnya tidak akan peduli.

Danina tetap tersenyum, dia mencoba menelan ludahnya yang entah mengapa terasa sulit baginya, sekuat tenaga Danina tidak akan membiarkan matanya berair. "Danina gak ngapa-ngapain Kak Raney," ucap Danina membela, yah meski dia tahu akan sia-sia, karena Ayahnya sudah lama kehilangan kepercayaan terhadap dirinya.

"Kalo bukan kamu siapa lagi? Ayah liat Kakak kamu nangis!"

"Danina dari semalem gak pulang, Yah." Setelah mengatakan itu Danina melanjutkan langkahnya, menaiki tangga kemudian memasuki kamar miliknya. Dia tidak peduli dengan suara Heiga yang memanggil namanya dengan nada tinggi.

Perlahan, pertahanannya runtuh, air matanya mengalir begitu saja. "Danina kangen Ayah," bisik Danina. Damainya akan lenyap mulai detik ini.

Sekitar 1 bulan yang lalu ketika Hanina, Ibunya tiba-tiba saja kembali setelah membiarkan Danina hidup sendiri. Hanina datang kemudian meminta agar dia mau kembali dan tinggal bersama Ayahnya. Perasaan Danina menjadi campur aduk, dia tidak ingin, dia ingin memberontak, tapi dia juga rindu pada Ayahnya. Dan lagi... Danina hanya menurut, tak berani membuka suaranya di depan Ibunya. Itulah Danina, sosok yang terlihat kuat, tapi sebenarnya begitu rapuh, dia membutuhkan kasih sayang, dia membutuhkan penompang.

Tak.

"Hah!" Danina terperanjat, gadis itu mengusap air matanya kasar kemudian menatap pintu balkon kamarnya. Itu suara kaca yang dilempar dengan sesuatu yang keras. Siapa orang iseng saat sore hari seperti ini?

Gadis itu melangkah mendekati pintu balkon, matanya menelisik pintu kaca yang dilapisi dengan gorden berwarna putih itu. Ada rasa penasaran di hatinya, namun dia juga takut. Bagaimana jika itu orang jahat? Tangan Danina bergerak membuka pintu, saat itu pula senyumnya terbit, ada setangkai bunga dengan surat yang diikat tergeletak di atas meja yang berada di balkon.

Danina meraihnya, mengedarkan pandangan mencari dalang di balik surat misterius itu, Danina melihat ke arah lantai satu. Di sana, di teras rumahnya seseorang tengah berjalan memunggunginya. "EH LO BERHENTI!" Danina ingin berlari menghampiri orang itu, tapi dia tidak yakin orang itu tidak kabur, Danina memilih memperhatikan dari atas berharap sedikit saja dia bisa melihat sosok itu. Orang itu memakai seragam yang sama dengannya, itu artinya mereka satu sekolah. Yah setidaknya bukan bapak-bapak atau ibu-ibu seperti yang dia takutkan

Tapi sepertinya, dia tidak akan mendapat jawaban hari ini, orang itu berjalan cepat tanpa menoleh, melewati gerbang kemudian hilang entah menuju ke mana. Danina mendesah kecewa, dia menunduk, membuka surat tersebut.

15 September

Jangan merasa sendiri ya? Kamu tahu? Ada kepedulian yang gak pernah kamu ketahui asalnya yang akan menopang saat kamu jatuh

Her Roses and Whispers (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang