Chapter Tiga Puluh

21 14 2
                                    

Happy Reading🌹

Embusan angin malam tak membuat gentar hati lelaki yang kini tengah mengendarai motornya dengan kecepatan rata-rata, dengan dibalut jaket kulitnya, lelaki itu melintas tengah keheningan malam melalui jalanan yang begitu sepi.

Tujuannya saat ini adalah ingin melihat kekasihnya, ah rasanya dia sangat kejam, maksud dia malam ini dia akan membantu Ibunya yang esok sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit, yah.. sekalian dia sudah begitu ingin melihat Danina, kekasihnya.

Mara begitu antusias saat ini, dia sudah tidak sabar! Rasanya dia sangat merindukan Danina. Padahal baru tadi siang datang berkunjung, apa mungkin ini yang di nama bucin? Seperti yang sering dikatakan teman-temannya.

Dia akui rasa sayangnya terhadap Danina sudah membuat dirinya gila, dia berubah sangat drastis, tidak jarang dirinya yang tengah sendiri tiba-tiba tertawa. Nara akui itu, dia gila! Gila karena rasanya terhadap Danina. Gadis itu!

Mungkin ini rasa euphoria karena penantiannya selama bertahun-tahun terbalas, entah karena apa gadis itu tiba-tiba membalas perasaannya. Mawar yang sering berlabuh kini tidak sia-sia. Oh jika diingat semenjak dia berpacaran dengan gadis itu, dia sudah lama tidak memberi bunga mawar itu, untuk apa pula kan dia sudah memberikan perhatian secara langsung. Tapi.. gadis itu kan belum tahu apa-apa.

Di balik helm full facenya, Mara tersenyum. Yap, malam ini dia kembali menggunakan motornya setelah kejadian kecelakaan waktu itu, sebenarnya motornya sudah lama keluar dari bengkel.

Mara menurunkan laju motornya, sebentar lagi dia menemui pertigaan, dia harus berbelok kanan, karena bekas hujan setengah jam yang lalu jalanan sedikit licin, dia harus berhati-hati, jangan sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, dia harus menjaga kekasihnya itu!

Mara membelokkan laju motornya, namun seorang pengendara motor yang ada di depannya itu tiba-tiba saja terjatuh membuat dirinya reflek membanting setir ke arah kanan, lelaki itu membelalakan matanya ketika motor yang dia bawa malah menubruk sebuah mobil sedan berwarna putih dari arah berlawanan. Mobil itu melaju dengan cukup kencang, tubuhnya terpental ke sisi jalan, Mara rasa tubuhnya seperti remuk, begitu sakit di segala sisi, terutama bagian kepala yang membentur trotoar jalan.

Napas Mara menjadi tersengal, dia panik, dia tidak tahu harus berbuat apa, untuk bangkit pun dia merasa sakit. Mata Mara hampir terpejam sebelum itu dia merasa sesuatu yang berat melintas pada pergelangan kaki kirinya.

Pandangan laki-laki itu mengabur, terakhir yang dia lihat adalah orang-orang yang mulai berkumpul mengelilinginya sampai akhirnya semuanya menjadi gelap.

🥀🥀🥀

Gadis cantik itu terlihat tengah duduk, di kedua telinganya dan tersumpal sebuah earphone, matanya menatap kosong ke depan, percuma saja dia kan tidak bisa melihat. Pikiran Danina begitu kosong, sudah lebih dari seminggu ini dia tidak mendengar suara Mara. Dia merindukan lelaki itu.

Dia takut...

Takut ketakutannya menjadi kenyataan.

Apa.. Mara menjauhinya? Apa Mara enggan memliki pasangan seperti dirinya? Yah apa yang bisa dia harapkan dengan mata yang buta ini? Wajar saja Mara memilih pergi.

Tapi....

Danina mohon.. jangan lagi dia kehilangan.

Jevano menatap sosok yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya dari ambang pintu, dia ingin masuk menghampiri gadis itu, tapi.. dia ragu. Cukup lama berpikir hingga kakinya melangkah mengikuti kata hatinya, lelaki itu menghampiri Danina.

Gadis itu tampak meneteskan matanya, jemarinya saling meremas satu sama lain, keningnya berkerut seperti tengah ketakutan. Jevano duduk di kursi yang berada di samping brankar milik Danina, gadis itu belum menyadari kehadirannya.

Tangan Jevano terangkat, ibu jarinya mengusap air mata Danina lembut. Gadis itu tampak terkejut, tangannya spontan terangkat meraba tangan yang kini berada di pipinya, menggenggam erat. "Mar.. Mara...."

Jevano terdiam, tersenyum kecut ketika Danina malah menyebutkan nama temannya itu, memang berita mengenai keduanya yang berpacaran telah sampai di telinganya. Hal tersebut sukses membuat dirinya menjadi lelaki yang menyedihkan, dia tidak menyukai berita itu.

Tangan Danina beralih meraba wajahnya, tangisan gadis itu semakin kencang, ini Mara kan? Mara kembali kan. Dia takut lelaki itu pergi.

"Gue Jevano, Dan."

Danina menghentikan tangannya, gadis itu menarik kembali kedua tangannya yang menggenggam tangan Jevano, namun sebelum itu terjadi Jevano lebih dahulu meraih tangan Danina, tidak membiarkan tangan hangat itu pergi dari jemarinya.

"Mana Mara?" Tanya Danina masih dengan tangisannya.

"Jevano, mana Mara!"

"Mara....."

"Ke mana dia?" Tanya Danina semakin khawatir, dia takut terlebih mendengar Jevano yang tidak melanjutkan ucapannya.

"Ma'af..." bisik Mara, namun masih dapat didengar oleh Danina.

"Hari ini dia gak bisa datang Danina, mungkin besok."

Sesosok laki-laki yang tengah duduk di kursi roda dengan Raneysha yang mendorongnya, menatap kekasihnya dengan tatapan sayunya, perlahan mata yang selalu menatap datar itu mengeluarkan cairan beningnya yang tak dapat dia tahan itu. Dia membekap mulutnya agar tidak menimbulkan suara.

"Ma'af Dan.. buat sekarang gue belum berani ketemu sama lo, ma'af... Gue ngerasa gak becus jagain lo. Jaga diri gue sendiri aja gue gak bisa apalagi lo."

Mara menatap kedua kakinya yang kini tak lagi sama panjangnya, dia meringis ngilu dalam hati. Pergelangan kakinya terpaksa harus diamputasi karena remuk yang diakibatkan kecelakaan waktu itu begitu parah, dia kehilangan pergelangan kaki kanannya. Apa yang bisa dia lakukan? Untuk melangkah saja dia kesulitan.

"Lo harus samperin dia," ucap Raney.

Mara menggeleng, lelaki itu menunduk. Jevano yang duduk di tempatnya menatap Mara dengan pandangan yang sulit diartikan, ada banyak perasaan yang tak bisa digambarkan. Dan ini pertama kalinya dia melihat Mara menangis. Apalagi ini karena seorang gadis, apa Danina seberarti itu untuk Mara?

Jevano mengalihkan pandangannya. "Dan... Ada gue. Lo bisa man'faatin gue sebagai mata lo, gak harus Mara kan?"

Danina menggeleng pelan mendengar ucapan Jevano, dia mohon, dia ingin Mara. "Mara mana?" Tanya Danina semakin kencang menangis.

"Kenapa harus Mara?" Tanya Jevano.

"Karena dia berarti buat gue."

Jevano menarik Danina kasar, memeluk tubuh gemetar gadis itu, mencoba memberi kehangatan. Jujur saja dia menyayangi Danina, meski hatinya masih juga tersisa untuk Kya. Dia tidak rela jika Danina lebih memilih Mara ketimbang dirinya.

"Jev.. gue sayang sama lo sebagai temen dekat. Terlepas itu hati gue utuh buat Mara... Tolong jangan bikin gue merasa bersalah, udah cukup temen-temen gue benci sama gue."

"Temen-temen Lo gak benci sama lo."

"Tapi gue udah ngelakuin kesalahan."

"Lo emang ngelakuin kesalahan, tapi jangan juga Lo berpikir mereka benci, mereka cuma butuh waktu..."

"Tolong anter gue," ucap Mara ketika melihat adegan itu, di hatinya ada rasa tidak terima miliknya disentuh oleh orang lain, tapi dia terlalu takut jika menemui Danina dengan kondisi seperti ini.

🥀🥀🥀

Her Roses and Whispers (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang