Chapter Enam

44 37 3
                                    

Happy Reading🌹

_"Gue boleh rangkul lo gak?"_

-----

Sesuai dengan perintah Ayahnya, begitu pulang sekolah Danina langsung menujukan dirinya ke rumah. Dengan segenap rasa berat hati Danina melangkah memasuki rumahnya. Sepertinya semesta tengah tidak memihaknya. Buktinya matanya kini menangkap keberadaan Ayahnya dan Kakaknya di ruang tamu. Yah, baginya ini adalah sebuah ketidakberuntungan, meski hatinya tak bisa dipungkiri sangat merindukan Ayahnya.

"Ayah..." Panggil Danina pelan membuat sosok tersebut langsung berdiri menghampiri Danina. Gadis itu menatap Ayahnya dengan mata sayunya.

Plak.

Tidak. Danina sudah tidak terkejut lagi mendapatkan perlakuan sepertu itu, hampir tiap hari Danina dapatkan. Sudah tidak ada keharmonisan yang Danina harapkan. Makan bersama di meja makan? Berangkat sekolah diantar? Bercengkrama di ruang keluarga? Berliburan menghabiskan waktu liburan? Haha, Danina jadi teringat dulu saat dia kelas 6 SD, tepat setelah liburan kenaikan kelas dia mendapat tugas menuliskan cerita saat liburan. Saat mengumpulkan buku tugas hanya buku miliknya yang kosong. Bagaimana tidak? Memangnya dia bisa berlibur dengan siapa? Sudahlah itu cerita yang seharusnya tidak dikenang!

"Danina!" Bentak Heiga seraya menjambak rambut Danina tentu saja hal tersebut membuat Danina tersadar dari lamunannya.

"Ayah nyuruh Danina pulang cuma buat nyakitin Danina, Yah? Kalo Ayah sebenci itu kenapa gak sekalian bunuh Danina?" Rasanya Danina sudah tidak bisa memaklumi Ayahnya, air mata yang sebelumnya sanggup dia tahan, kini tak bisa lagi Danina hentikan untuk turun. Dia tidak peduli jika dia akan dianggap remeh.

"Kalo kamu mau Ayah bisa lakuin itu Danina." Heiga menekan setiap perkataannya, menunjukkan bahwa dia benar-benar marah terhadap Danina. Tapi apa salah gadis itu. "Itu 'kan yang kamu lakuin ke Kakak kamu? Kamu dorong Kakak kamu di tangga, apa yang ada dipikiran kamu Danina? Kamu mau nyelakain Kakak kamu? Iya?"

Danina menggeleng bermaksud menyalahkan perkataan Heiga, namun tanpa berpikir panjang, Heiga mendorong Danina kasar. "Sebelum kamu bunuh Kakak kamu, saya bisa lebih dulu bunuh kamu!" Heiga semakin mengeratkan tarikan di rambut Danina, matanya memerah kerena emosi. Tatapan itu... Danina dapat merasakan aura kebencian yang dipancarkan oleh Ayahnya.

Prang.

Danina memejamkan matanya ketika dia merasa Ayahnya membenturkan kepalanya ke lemari kaca yang ada di ruang tamu itu. Sakit? Tidak, dia kecewa, hatinya lebih terluka dari fisiknya. Dalam diamnya Danina terus meneteskan air matanya, menahan rasa sesak di hatinya. Senyumnya terbit, senyum kepedihan dengan mata yang sayu, Danina menatap Ayahnya. Dia bahkan tidak peduli dengan darah yang kini mengalir dari keningnya.

"Yah, makasih buat semuanya," lirih Danina. Sedangkan Ayahnya? Lelaki tua itu masih menjambak rambut Danina dengan pandangan benci yang tak lepas dari Danina.

"Danina sayang Ayah," ucap Danina masih setia dengan senyumnya. Tangan kanan Danina merambat menyentuh tangan Heiga. "Benci Danina sebanyak Ayah mau, sakiti Danina bahkan bunuh Danina sesuka Ayah. Danina gak akan marah, tapi izinin Danina tetep sayang sama Ayah. Danina boleh gak peluk Ayah? Danina kangen..."

Heiga menggeram kesal atas perkataan Danina tanpa mengatakan sepatah kata pun Heiga mendorong Danina ke serpihan kaca yang tersebar di lantai tersebut. "Jangan salah paham, Yah... Danina gak jahatin Kak Raney, justru Kak Raney yang jahat ke Danina."

Her Roses and Whispers (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang