Chapter Lima Belas

33 23 1
                                    

Happy Reading🌹

Ia mulai layu terlumat waktu,
dihempas oleh angin yang ditunggu.
Harsanya mulai berguguran,
mendorongnya menjadi sebuah figuran.
Ia terlalu lugu untuk diinjak,
Ia terlalu indah untuk dihempas.
Ia hanya setangkai mawar yang merambat merantai kewarasan jiwaku.

Bilyla Danina Aludra, kamu berhasil menguasai saya.

-----

P

rang.

"Pergi dari rumah ini!" Teriak Heiga marah.

Gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat, memang terkesan berlebihan, namun rasanya jantungnya hampir copot akibat Heiga melempar vas bunga yang terletak di samping sofa sebagai pajangan ke arahnya, bahkan mengenai tubuhnya sampai akhirnya vas itu jatuh menjumpai lantai yang bersifat lebih keras. Vas itu pecah menjadi kepingan kaca di sekitaran Danina.

Mata Danina memerah, percampuran antara marah, ingin menangis dan kecewa. Danina menatap Raney marah, ini semua gara-gara gadis itu! "Ini semua gara-gara lo!" Teriak Danina berlari menghampiri Raney kemudian mendorong gadis itu hingga tersungkur.

"AW!"

Plak.

"Mati lo anjing." Danina menampar Raneysha sekuat tenaga dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menjambak rambut Raney kencang membuat gadis berambut sepunggung itu menggerang kesakitan.

"AW Ayah tolongin Raney, sakit." Raney menatap Heiga seraya menangis.

Tentu saja lelaki itu tidak tinggal diam, laki-laki itu memukul pelipis Danina membuat Danina melepas cengkraman ya dari Raney. Danina tersenyum miring, dia menggila. "Ayah bisa bunuh Danina, kalo Danina udah bunuh Kak Raney!"

"Danina lo gila!" Raney menatap Danina ketakutan, beringsut menjauhi Danina.

"Sayangnya saya gak akan biarin hal itu terjadi." Sebelum Heiga kembali menyerang Danina, gadis itu sudah berlari menuju meja di ruang tamu kemudian menendangnya hingga meja yang terbuat dari kaca itu pecah.

Danina meraih salah satu serpihan kaca tersebut, menggenggamnya erat, tangisan dan erangan Danina begitu menggema memenuhi ruagan yang hanya ada ketiganya, cairan berwarna merah pekat mulai menetes dari tangannya.

"Danina!" Bentak Heiga menghampiri Danina, gadis itu bahkan tak mengelak ketika tubuhnya di dorong ke arah pecahan kaca oleh Heiga. Rasa sakit yang diterima tubuhnya tidak sebanding dengan luka hatinya.

Bukan hanya sedikit darah yang keluar dari lengan dan kaki Danina, namun sempat-sempatnya gadis itu tersenyum menatap wajah penuh amarah milik Ayahnya. Gadis itu berusaha kembali berdiri, berjalan sedikit kesusahan mendekati Ayahnya. "Danina pamit ya Yah, Danina sayang sama Ayah."

Danina lelah, dia benar-benar lelah, sampai sini saja dia melawan, gadis itu meraih tas sekolah dan tas yang tadi dilempar oleh Ayahnya yang tergeletak di atas lantai. Berjalan dengan tertatih meninggalkan kedua orang yang amat dia sayangi, yah bohong jika dia mengatakan dia memberi Kakaknya, nyatanya dalam lubuk hatinya, dia sangat menyayangi Kakaknya itu.

🥀🥀🥀

Gadis berjalan menyusuri trotoar dengan begitu pelan, menunduk tanpa pedulikan keadaan sekitarnya yang begitu ramai. Banyak kendaraan yang berlalu lalang di bawah terik matahari siang ini tak dia hiraukan, kakinya masih saja melangkah tanpa arah.

Jadi... Dia diusir?

Setiap kalimat yang pernah Ayahnya lontarkan terhadapnya terngiang begitu jelas, terputar dalam otaknya bergantian. Sekitar 8 tahun ini hanya ada kalimat hinaan dan kebencian yang Heiga tujukan terhadap dirinya.

Langkahnya terhenti, gadis itu menatap sepasang sepatu yang berada tepat di depannya. Perlahan gadis itu mendongak menatap sang empu sepatu. "Lo ngapain?" Tanya Danina begitu lirih. Dia kembali menunduk.

"Lo mau ke mana?" Tanya lelaki itu menatap datar Danina.

"Gue..." Ucapan Danina tergantung, dia sendiri tidak tahu harus ke mana. Mungkin ujungnya dia akan kembali ke apartemen kecil yang pernah diberikan Ibunya kepada dirinya.

"It's okay... Semua bakal baik-baik aja." Tangan laki-laki itu dia letakan di atas bahu milik Danina.

"Lo ngomong seolah-olah gue lagi terluka," ucap Danina kemudian terkekeh pelan menatap Mara. Sedangkan lelaki itu menatap Danina dengan alis yang dia angkat sebelah.

"Jangan bo'ongin diri lo sendiri, trus ini apa? Luka buatan? Apa lo tawuran?" Mara menyentuh luka Danina yang terletak di kenang gadis itu. Lelaki itu memajukan wajahnya menatap luka itu tanpa sadar dia meniup pelan kening Danina.

Danina yang semula menahan tangisnya semenjak keluar rumah, spontan menahan napasnya, terkejut dengan perlakuan Mara. Ada apa dengan Maratungga? Danina berdehem sejenak.

"Iya gue habis ribut," ucap Danina mencoba menutupi kegugupannya.

"Lo nangis," ucap Mara dengan nada meremehkan. "Lo boleh nangis kalo lo mau."

"Ngapain gue nangis?" Gadis itu ya! Keras kepala sekali! Tidak pernah berubah. Mara tersenyum menanggapi padahal jelas-jelas dia dapat melihat siluet bening di mata Danina.

"Mata lo udah berkaca-kaca."

Danina mendengus kesal, kenapa harus keluar lagi air mata sialan itu? Padahal dia sudah mati-matian menahannya dan tadi saat Mara meniup lukanya air mata itu sudah enggan untuk turun. Tapi kenapa harus keluar lagi?

"Yakin gak mau nangis? Gue temenin loh."

Dan saat itu pula air matanya keluar tanpa permisi. Masa bodo dengan orang-orang yang berlalu lalang melihat dirinya, setidaknya ada Mara di depannya, paling orang-orang mengira Mara yang membuat dia menangis! Biar saja.

"Mara.. kok sakit ya?" Danina memegang dadanya, masih membiarkan air matanya turun begitu saja. Dengan penuh kelembutan lelaki itu menarik Danina ke dalam dekapannya, mengusap punggung gadis itu mencoba menenangkannya.

"Mara... Kenapa mereka jahat?" Tangisan Danina semakin pecah, sudah. Dia sudah tidak bisa menahan isakannya. Setidaknya saat di rumah tadi, dia hanya menangis sesaat, tidak terlalu lemah.

"Lo tau, Dan? Gue runtuh liat lo hancur kaya gini," ucap batin Mara. Entah mengapa suara tangisan Danina menjadi luka tersendiri bagi Mara. Dia ikut merasakan bagaimana luka Danina. Luka batin mau pun fisik.

"Lo bisa luapin ke gue, Dan. Lo boleh pukul gue kalo lo butuh dan.. Lo boleh cerita ke gue kalo lo mau. Danina lo gak sendiri. Kalo emang mereka jahat seenggaknya ada banyak orang baik juga di sekitar lo."

"Salah satunya adalah lo, Maratungga."

Danina mengurai pelukannya, matanya menatap Mara yang juga tengah menatapnya. "Lo bersedia dengerin gue?"

"Kenapa enggak?" Ibu jari Mara bergerak mengusap air mata Danina.

"Lo itu istimewa buat gue, Danina!"

"Tapi.. gue gak tau harus mulai darimana."

"Dimulai dari tangisan lo, selesaiin dulu, keluarin semua unek-unek lo. Gue siap dengerin sampe lo selesai."

Danina tersenyum haru menatap Mara, sampai matanya tak sengaja menatap noda darah di kemeja cokelat yang lelaki itu gunakan. "Mara.. baju lo."

"It's okey Danina, dia gak lebih penting sekarang ketimbang lo."

Deg. Apa maksud Mara?

🥀🥀🥀

To be continue 🌠

Her Roses and Whispers (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang