Chapter Sembilan

47 36 4
                                    

Happy Reading🌹


Hari ini sudah beberapa hari berlalu pasca Danina diserang oleh Ayahnya. Kini gadis itu tengah tersenyum bahagia, di sampingnya sosok yang dia anggap Kakak tengah menatapnya dengan pandangan iba.

Mengapa masalah sederhana bisa membuat gadis itu tersenyum seolah dia tidak memiliki masalah? Masalah yang dia hadapi membuatnya teratai di gelombang luka. Salahnya ketika rantai itu melonggar, gadis itu akan tertawa bahagia, dia lupa bahwa rantai itu hanya melonggar bukan terlepas.

"Sadar gak sih Dan?"

"Apa?"

"Setiap lo lupa, lo bakal ketawa bahagia."

"Trus?"

"Pergerakan lo itu ngebuat rantai itu ngiket lo lebih kuat." Danina terdiam mendengar ucapan Gio, apa yang lelaki itu maksud?

"Rantai itu ibarat masalah yang lo punya," ucap Gio mengerti kebingungan Danina.

"Oh." Sekarang Danina mengerti, apa maksud Gio dia tidak boleh terlalu bahagia? Agar nanti saati dia kembali jatuh, rasanya tidak terlalu menyakitkan, Danina tersenyum. "Gue lebih kenal luka gue daripada lo."

"Yaudah gue anter pulang ya? Udah malem."

Danina tersenyum kemudian mengangguk. Dia menurut saja, lagi pula udara sudah mulai terasa dingin sedangkan dia masih menggunakan seragam dan tidak membawa jaket atau pun semacamnya.

Sama seperti Danina yang menganggap Gio seorang Kakak, Gio pun memberikan perhatian pada Danina layaknya seorang Kakak, meski di hatinya ada perasaan terhadap gadis itu, beruntung dia masih sanggup menahannya. Danina, gadis itu memiliki banyak luka sedari kecil, jangan pula dia membebani dengan perasaannya.

Setelah mengantarkan Danina pulang, Gio melajukan motornya langsung menuju ke apartemennya, kepulangannya disambut oleh adiknya yang tengah duduk di sofa ruang tamu, sepertinya tengah mengerjakan sesuatu. Mungkin tugas.

"Bang!"

"Bang Gio!" Laki-laki itu mendengus kesal, sepertinya Kakaknya berpura-pura tidak mendengarnya.

"Bang Gio! Gue mau ngomong."

"Apaan sih Nan?"

"Makasih udah jaga Danina."

Gio terdiam mendengar ucapan adiknya itu. "Lo dateng ke sini cuma mau ngomong itu?"

"Iyaa."

"Sesayang itu lo sama Danina?"

"Kenapa?"

"Kalo gitu harusnya lo berani jagain dia secara langsung, gak pake surat-suratan! Cemen tau gak!"

"Gue cuma takut dia gak nerima gue."

"Bukannya lo yang bilang? Gak selamanya orang yang kita sukai jadi milik kita? Contohnya Ayah?"

"Gak usah bawa-bawa Ayah!"

"Itu yang lo bilang!"

🥀🥀🥀

Hawa dingin menyelinap tanpa permisi menambah suasana mencengkram yang meliputi keadaan Jevano. Lelaki itu tampak sibuk membaca kertas yang ada di genggamannya dengan seksama, dengan perlahan matanya menyusuri setiap kata demi kata yang tersusun, berusaha mencerna isinya baik-baik. Saat itu pula dia mengerti, tangan kanannya meremas kertas itu, bersamaan dengan kertas itu, hatinya seolah turut serta diremas.

Her Roses and Whispers (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang