5

1.5K 305 15
                                    

_HTK_

"Masih sakit?" tanya Zean. Dia duduk di samping Shani dengan perasaan canggung yang menyelimuti. Dia tak menyangka akan kembali bertemu dengan mantan kekasihnya di sini. Dengan kondisi yang seperti ini juga.

"Masih," jawab Shani pelan. Dia tak sedetik pun mengalihkan pandangannya dari Zean. Memperhatikan setiap inci pahatan wajah Zean yang nampak semakin dewasa. Bahkan ada kumis tipis di sana sekarang.

"Harusnya kamu ga lupain sarapan. Sarapan itu penting," kata Zean. Dia berusaha santai, meskipun ada masa lalu yang kurang mengenakkan saat terakhir.

Kalau pun lupain sarapan bisa ngebuat aku ketemu kamu seperti ini, aku akan lakuin Ze. Aku ga papa menahan sakit. Batin Shani.

Feni dan Sisca pergi untuk mencarikan makan dan minum untuk Shani. Perut Shani harus segera diisi, meski pun hanya sedikit, yang terpenting tidak kosong.

Zean berkutat dengan ponselnya, yang Shani tidak ketau apa yang mantan kekasihnya itu lakukan dibenda kecil itu. "Zean," panggil Shani pelan. Sontak Zean menoleh dengan raut muka bertanya. "Kamu.. apa kabar?" tanya Shani.

Zean termangu. Seolah ada pikiran lain dikepalanya. "Aku baik. Kamu apa kabar?" Tak enak rasanya jika hanya Shani yang bertanya, jadi Zean pun balik bertanya.

"Apa kamu percaya kalau aku jawab, selama ini aku tidak baik-baik saja?" Zean meneliti wajah Shani dan mata Shani yang nampak lebih redup. Seperti banyak luka yang terpendam di sana. "Kabarku ga baik-baik aja. Semua tidak sama semenjak kamu pergi," lanjutnya.

Zean mengalihkan pandangan dan menelan ludah pelan. Dia menggosok telapak tangannya sendiri untuk menghilangkan rasa aneh dalam benaknya. "Maaf." Hanya itu yang bisa Zean ucapkan.

"Kenapa kamu pergi?" tanya Shani. Matanya memerah berkaca-kaca, siap untuk ditumpahkan. Hatinya berdenyut merasakan sakit yang kembali dia ingat.

"Maaf. Aku hanya berharap kamu bisa mendapatkan kebahagiaanmu yang lebih, dan bukan lagi denganku. Maaf kalau itu malah buat kamu jadi tidak baik-baik saja."

"Waktu itu kamu salah paham. Husen—"

"Aku tau. Mama sudah cerita ke aku. Tapi... nasi sudah menjadi buburkan? Kita sudah putus. Kamu sendiri yang mengatakan itu." Zean tersenyum sendu di kala mengingatnya.

"Aku tidak bermaksud seperti itu. Dan aku tidak ingin kita putus Zean." Air mata Shani sudah luruh membasahi pipinya.

"Tapi waktu sudah lama berlalu. Kita sudah putus Shan. Kita harus sama-sama menerima kenyataan itu."

"Tapi aku ga bisa terima semudah itu. Aku sakit selama ini. Aku sakit.. aku selalu nungguin kamu kembali. Aku selalu cari kabar tentang kamu, tapi orang sekitar kamu mendadak bungkam. Kenapa?" Ungkap Shani menggebu-gebu.

"Aku hanya ingin kamu menemukan kebahagiaan yang lain Shan."

"Tapi aku ga menemukan apa yang kamu maksud! Aku maunya kamu!" Sebegitu berartinya Zean bagi Shani. Namun, Shani jadi merasa heran dengan keinginan Zean, sementara Shani saja mati-matian untuk mencari informasi agar mereka bisa kembali bersama. "Apa aku ga berarti bagi kamu?"

"Kamu berarti dan karna itu aku ga mau kamu tambah sakit kalau masih terus sama aku. Kita sama-sama menyakitikan pada saat itu?"

"Kita bisa perbiki Ze, kita bisa saling belajar untuk jadi dewasa. Pergi bukan jalan yang terbaik. Aku sakit kamu pergi," kata Shani. Sangat tersirat kesakitan disetiap kata yang Shani ucapkan. Zean merasakan itu.

"Kita sama-sama butuh waktu."

"Dengan kamu pergi selama bertahun-tahun dan tanpa adanya kabar sama sekali? Kamu gila! Kamu jahat!" Shani menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis di sana.

Sementara Zean semakin merasa tak enak, dia tak suka melihat Shani menangis. Dia tak suka. Dan dia semakin tak suka disaat dialah yang menjadi penyebab Shani menangis. "Jangan nangis Shan, maafin aku," kata Zean dengan suara tercekat. Dia pun menahan tangisnya sendiri.

"Eh, eh Shan kenapa?" Sisca dan Feni datang dengan membawa roti dan air untuk Shani. Zean menyingkir dan Sisca mengambil alih tempat duduk, menenangkan temannya. "Lo apain Shani, Ze?" tanya Sisca.

"Aku pergi dulu kak. Maaf karena ga bisa lama. Permisi." Zean mengundurkan diri dan segera pergi dari sana. Namun, Feni mengikutinya dan menahan Zean disaat sudah sedikit jauh dari tempat temannya. "Kenapa kak?"

"Lo mau kemana?"

"Aku harus pergi. Ada urusan."

"Lo bakal ninggalin Shani lagi?" Zean terdiam tak berniat menjawab. "Lo jangan jahat. Kasih nomor ponsel lo sekarang." Feni memberikan ponselnya, meminta Zean memberikan nomornya. Dengan ragu Zean mengetikkan nomornya di sana.

"Gue bakal hubungin lo nanti." Setelah itu Feni pergi meninggalkan Zean yang kini termenung sendirian.



















Bau bau apa nih...

Dah maap buat typo.

200 vote lanjut.

HANYA TENTANG KITA III [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang