23

97 20 2
                                    

Kemarin adalah hari dimana ekspetasi serta harapan Nara hancur. Perjuangan yang selama ini membuatnya terluka kini menumbuhkan goresan yang takkan  ia lupakan. Menerima sebuah kenyataan pahit apalagi tentang perasaaan membuat dirinya sadar jika kodrat wanita adalah di kejar bukan mengejar.

Nara memukul kepalanya tanpa sadar. Lalu berkata seolah ialah yang salah disini. "Nara bodoh! Mengapa dari dulu kau begitu bodoh?."

Menyisir rambutnya perlahan, hari ini ia akan bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa. Untuk Raditya ah tidak, Nara tak mau mengucapkan nama pria itu dari mulutnya. Untuk lelaki itu ia mungkin akan menjaga jarak terhadapnya. Tak lupa ia memakai liptint di bibirnya agar tak kering. Dirasa sudah selesai, ia pun turun untuk sarapan pagi bersama keluarganya. Biasanya pagi-pagi gini ayahnya masih berada dirumah, nah kan tebakannya benar. Pria paruh baya yang ia cintai tengah membantu sang ibu memasak.

"Selamat pagi ayah, ibu."

Kedua orangtua Nara menoleh ke arahnya, sang ibu tersenyum tipis melihat kehadiran putri cantiknya itu.

"Pagi sayanggg, adududu putri ibu cantik sekali." Sang ibu, Kirana tergopoh-gopoh menyambut putri kesayangannya dengan senyuman paginya.

"Siapa dulu ayahnya?" Pria paruh baya yang diketahui ayah Nara itu menyahuti perkataan istrinya sambil menepuk dadanya bangga.

"Tapi yang melahirkannya aku." Sewot Kirana

"Iyaaaa iya terserah ibu, ayah mah ngalah aja." Ucapnya pasrah, Kirana tersenyum penuh kemenangan melihat ketidakberdayaan suaminya itu.

Melihat kedua orang yang ia sayangi akur seperti itu sudah membuat dirinya bahagia. Untuk apa ia sedih jika mereka berdua masih berada di sampingnya. "Kebiasaan deh pagi-pagi ayah sama ibu udah berantem." Sindir Nara sengaja, kemudian ia mendaratkan bokongnya di kursi di hadapannya.

"Biar romantis kalo kata ibumu" Ardian mengatakannya sembari terkekeh geli.

Sedangkan Kirana yang di perlakukan seperti itu hanya geleng-geleng kepala. Kirana melanjutkan kegiatannya yaitu menggoreng ayam. Sebagai suami yang berbakti, Ardian bangkit dan ikut serta membantu istrinya. 

"Ayahhhh, Abang mana ko ga keliatan batang idungnya." Tanya Nara sembari mengedarkan pandangannya ke kanan kiri mencari abangnya.

"Abang kamu sakit, hari ini ayah yang akan nganter kamu." Jawab Ardian santai.

"Abang sakit? Kok Nara baru tau? Perasaan kemaren baik-baik aja deh."
Jelas Nara bingung, bagaimana tidak kemaren perasaan abangnya itu baik-baik aja ko sekarang tiba-tiba udah sakit gitu aja.

"Namanya sakit juga gak ada yang tau raaa, makan gih ibu udah siapin sarapan buat kamu."

"Iya bu."

Menuruti kata ibunya, Nara membuka tudung saji di hadapannya dan benar saja terdapat dua buah piring yang berisikan tumis pare dan gorengan tahu. Ia mengambil seentong nasi kemuduan menaruh ke piringnya, untuk lauknya ia memilih dua buah tahu saja. Karena Nara ga suka yang pahit-pahit, makannya ia ngambil tahu sebagai lauknya.

Srek

Menggeret kursinya pelan, Ardian duduk di samping putrinya dan mengambil sebuah piring untuknya. "Kamu ga pake sayur ra?" Tanyanya ketika netra matanya tak sengaja menatap piring putrinya yang hanya berisikan dua butir tahu.

"Engga yahhh, pahit.. Nara ga suka." Balas Nara di akhiri dengan cengiran miknya.

"Itu ada ayam, kamu ambil aja." Suruh Ardian kepada putrinya yang langsung di angguki oleh Nara sendiri.

Mata Nara berbinar kala ayahnya mengucapkan hal itu. Dengan gerakan cepat ia mengambil satu gorengan ayam yang ada di atas serok lalu memakannya dengan lahap. Melihat hal itu Ardian tersenyum senang. Hatinya terasa damai melihat sang putri yang kini tengah melahap makanannya.

Pujaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang