Chandra cr. Fukuyama12 (2024)
Bayang 39 Kunang-Kunang Menghilang
.
.
Kalingga menghentikan langkahnya dan membuat kami semua melakukan hal yang sama. Ia berbalik dan menatap kami satu persatu, seolah sedang menghitung jumlah kami berempat. Sepanjang perjalanan, Kalingga mengikuti ke mana kunang-kunang pergi dan ke mana sungai ini mengarah. Namun, ia berhenti bahkan sebelum sungai itu bercabang atau menemukan ujungnya.
"Kita akan menyeberang," jelas Kalingga yang menunjuk ke arah sisi di seberang sungai.
"Menyeberangi sungai?" Mahesa mengulang kembali perkataan Kalingga. Pemuda itu mengangguk sebagai balasan.
Sungai ini memang tidak terlalu besar, tetapi juga tidak kecil hingga bisa dilewati hanya dengan satu kali lompatan. Butuh pengorbanan kaki yang basah karena harus mengambil beberapa langkah menuju seberang. Apalagi ada kemungkinan bahwa sungai di bagian tengah akan lebih dalam daripada yang ada di pinggir.
"Sungainya tidak dalam, kan?" tanyaku untuk memastikan. Terlalu gelap untuk menerka-nerka seberapa dalam sungai.
Dari cahaya remang-remang obor, tidak ada batu besar yang bisa dijadikan untuk pijakan. Mungkin aku hanya tidak bisa melihatnya saja. Namun, dasar sungai pun tidak terlihat dengan jelas. Aku tidak yakin dengan ide ini.
"Apa tidak ada jembatan?" tanya Kartika ragu-ragu.
"Untuk apa jembatan kalau sungainya tidak membuatmu tenggelam?" balas Kalingga yang langsung kubalas dengan tatapan aneh. "Tenang saja, tidak dalam, kok."
Kalingga menjawab dan melangkah memasuki sungai terlebih dahulu. Ia menunjukkan itu agar kami percaya padanya. Mungkin karena memang hidup di daerah sini, ia jadi bisa masuk dengan mudah. Air sungai menggenang sampai sebatas mata kakinya.
"Mungkin agak dalam saat di tengah, tapi tidak akan sampai di atas lutut, hanya sebetis saja," jelas Kalingga yang masih diam dan belum melangkah, menunggu kami untuk ikut masuk. Dia sepertinya sudah hafal dalamnya sungai ini.
Meski enggan kembali basah-basahan, aku mau tidak mau mulai melangkah masuk ke dalam sungai. Kulitku merinding saat merasakan dinginnya air sungai pegunungan.
"Tunggu!" seru Kalingga yang menghentikan langkahku. Ia berjalan mendekatiku. "Boleh aku pinjam pisaumu?" Tangannya terulur padaku.
"Pisau?" Aku tidak ingat pernah membawa pisau, tetapi aku mengeluarkan keris pemberian Datuk Suma. "Apa bisa menggunakan ini?"
Kalingga mengangguk dan tidak menolaknya. Ia mengambil keris di tanganku dan mengeluarkannya dari sarungnya. Ia juga memintaku untuk memegangi obor yang tadi ia bawa. Kalingga sedikit merunduk, tanganya mengambil sehelai kain sarung tenunku.
Srak!
Aku menahan napas saat melihat Kalingga dengan mudahnya menyobek sarung tenunku dengan keris pemberian Datuk Suma. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Kalingga.
"Apa yang kamu lakukan?!" seruku tidak percaya.
Rasanya aku ingin berteriak melihat sobekan sepanjang satu jari di sarung tenunku. Ini sarung buatan Ibunda yang menemaniku sejak kecil. Bahannya bukan dari sembarang bahan, semua orang selalu memuji sarung tenun ini. Ibunda juga selalu berkata agar aku terus menjaga sarung ini agar tidak rusak.
"Maaf, nanti kamu bisa menjahitnya lagi." Kalingga berkata dengan senyum tak bersalah.
Aku menatap Kalingga dengan mulut terbuka, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku kehabisan kalimat untuk dilontarkan, bahkan saat Kalingga meminta kembali obornya, aku memberikannya begitu saja dan mengabaikan kesempatan untuk memarahi tindakannya yang seenaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Chandra
Fantasi"Jangan main kalau matahari mulai terbenam, nanti kamu bisa hilang! Apalagi kalau sampai masuk ke Alas!" Bukan untuk menakut-nakuti anak kecil agar pulang sebelum senja, tetapi itu memang pantangan bagi seluruh penduduk Dusun Pedhukul tidak peduli u...