2

3.9K 200 9
                                    

Hari itu adalah hari pertama di mana ujian akhir semester diadakan. Jika sebelum kelas dimulai lainnya belajar tentang materi kuliah yang akan diujikan, Hana tidak. Dia bergumul dengan tiga puluh dua artikel tugas pemberian dari Bapak Abi-tch tercinta.

Baru dua puluh yang dia kerjakan, ada tiga belas artikel lagi yang harus dia ketik, tetapi dua hari lalu Pak Abi sudah meminta tugasnya untuk dikumpulkan hari ini juga. Padahal tenggatnya masih kurang seminggu lagi. Memang tahta dosen termenyebalkan milik Pak Hanif harus diturunkan pada Pak Abi--tidak, sebutan itu harusnya disematkan di antara namanya.

Arya di sebelah Hana duduk santai sembari memiringkan ponselnya.

Tahukan jika ponsel lelaki sudah miring maka artinya apa?

Iyap, betul lelaki itu bermain game. Lebih parah dari Hana.

Arya terlihat tenang karena bukan cuma dia yang menyepelekan ujian itu, tetapi para lelaki sederetnya yang juga memiringkan ponselnya seperti Arya.

Ah, ujian hal biasa menurut mereka. Apalagi ujian program studi komunikasi. Tinggal mengarang bebas dengan bahasa yang diapikkan dan sedikit menyangkut pautkan dengan pendapat dari orang berpengaruh maka nilai sudah dipastikan bagus. Dalam komunikasi tak perlu rumus X+y, tak perlu mencari X, tak perlu menghitung koding-kodingan. Pintar mengarang bebas dan beropini serta percaya diri dengan ucapan, fiks lulus mata kuliah.

Mudah 'kan?

Iya, mudah jika saja tak ada dosen seperti Pak Abi dan Pak Hanif yang sukanya membebankan pundak mahasiswa. Jika saja dosen dua itu tak rewel dengan tata tulisan yang saat salah menaruh spasi dalam kalimat 'disampaikan' atau 'diikutsertakan' tak perlu mencoret hardfile berlembar-lembar, tak perlu menge-print ulang, maka sejahteralah hidup anak ajarnya. Hana setiap hari akan pergi ke kampus dengan senyum yang begitu lebar dan hati yang lapang.

Sayang seribu sayang realita memanggil, apalagi ketika sosok Pak Abi masuk ke dalam kelas membuat semua mahasiswa di kelas itu hening, seketika memperjelas semuanya.

Panjang umur, baru saja diomongi sudah nongol saja sosok dosen muda nan tampan rupawan paripurna itu.

Tunggu, tapi jam itu bukan waktunya kelas Pak Abi, lalu mengapa dosen menyebalkan itu berada di sana duduk di kursi dosen dengan gerakan yang pasti dan percaya diri seolah memang jam itu adalah waktu dia mengajar.

"Selamat pagi semuanya, hari yang cerah sepertinya, ya?"

Sapaan khasnya tak dibalas oleh seluruh mahasiswa di kelas itu, termasuk Hana yang sampai melongo mendengar sapaan itu. Sapaan yang biasa dipakai Pak Abi ketika akan memberikan 'hadiah' untuk mahasiswanya.

Pak Abi tersenyum begitu lebar nan cerah secerah mentari pagi. Namun di atas kepala mahasiswa ada sebuah mendung yang mengundang ketakutan bagi mereka.

Pak Abi terlihat tak keberatan sapaannya tak dijawab.

"Saya lihat kalian semangat semua untuk menyambut ujian hari ini," ujar Pak Abi ketika melihat buku-buku di atas meja para mahasiswanya yang terbuka lebar. Mereka serentak menyembunyikan buku itu. Entah menyembunyikan di bawah lengannya atau memasukkannya ke dalam tas mereka. Hana di belakang perlahan memasukkan tumpukkan kertas dua puluh tugas artikel dari Pak Abi agar tak dibahas saat itu juga.

Arya dan beberapa teman lelaki lainnya berbisik-bisik tentang Pak Abi. Tentunya bukan bisikan yang baik untuk didengar karena isinya adalah sebuah umpatan yang indah untuk Pak Abi tercinta.

Aghni, salah satu mahasiswi dengan IPK tertinggi di kelas Hana itu mengangkat tangan.

"Pak, maaf. Pagi ini jam ujiannya Pak Diki," ujar Aghni mengingatkan.

ILA LIQOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang