"Sampai sedekat ini, Abi masih berharap bahwa itu bukan kamu, Hana."
"Abi ...." Bibir Hana refleks menyebut nama abinya itu dengan lirih. Angkasa di sebelahnya menaikkan alis. "Abi?" tanyanya. Lalu dia ikut menoleh ke arah pandang Hana.
Ada pria dan wanita paruh baya berdiri di hadapan mereka dengan wajah yang begitu kecewa dan ... tak percaya.
Angkasa mengernyitkan keningnya, dia seperti mengingat sosok pria itu. Jangan-jangan ....
Hana bangkit dari duduknya, membuat Angkasa yang masih mencerna keadaan ikut bangkit.
Wanita paruh baya dengan kebaya berwarna biru dongker itu mendekat ke arah Hana. Tangannya mengelus pucuk kepala Hana yang tak tertutup apa pun.
"Cah ayu, hijabmu neng endi?" [Anak cantik, hijabmu ke mana?] tanya umi Hana dengan begitu pelan, air mata membasahi pipinya yang begitu bersih dan bersinar. Matanya terlihat begitu sayu menatap putri bungsunya.
"Umi ... maaf," lirih Hana.
Umi mengusap satu bulir bening yang mengalir di pipinya, dia pun mengalungkan selendang yang sejak tadi dia pakai ke kepala putrinya untuk menutupi rambut Hana.
"Mi, bawa anakmu ke mobil," ujar Abi begitu tegas.
Kalimat yang keluar dari mulut pria paruh baya itu menyadarkan Angkasa tentang situasi darurat di sekitarnya. Dia sedang berhadapan dengan sosok pemuka agama sekaligus guru besar di universitas islam. Iya, Angkasa ingat wajah itu. Wajah yang selalu dia lihat di iklan minuman penyegar tenggorokan. Dia adalah profesor Majid.
"Bawa sekalian lelaki itu," perintah tegas pria paruh baya itu.
Gawat!
Hana dan Angkasa berpandangan.
Hana maju selangkah.
"Biar Hana saja yang bertanggung jawab, Bi. Dia nggak salah," ujarnya yang membuat abi Hana menatap Angkasa.
"Kalo kamu merasa laki, ikut kami," ujar abi Hana sembari menatap lurus ke arah Angkasa.
Perkataan itu akan dibantah oleh Hana, tetapi Angkasa segera menghentikannya. Dia setuju untuk ikut bersama Hana dan keluarganya.
Hana menggeleng pelan ke arah Angkasa, yang ditanggapi anggukan lembut dari lelaki itu.
Beberapa orang di sana mulai menaruh atensi kepada mereka, sehingga abi Hana segera memimpin langkah menuju mobil pribadinya berada.
Selama perjalanan, suasana terasa mencekam sebab tak ada yang bersuara. Abi dan umi Hana diam membisu enggan berbicara atau pun menatap sepasang remaja itu.
Hana tak tahu mobil itu akan menuju ke mana, yang jelas bukan jalan ke rumahnya.
Setelah tiga puluh menit berada di tengah kemacetan jalan Surabaya, akhirnya mereka sampai di sebuah gedung tinggi tempat penginapan.
Professor Majid berjalan lebih dulu memimpin langkah bersama istrinya. Hana dan Angkasa membuntuti di belakang.
Sesampainya di dalam barulah abi Hana bersua, "duduk," perintahnya.
Hana dan Angkasa duduk di sebuah sofa yang ada di ruang santai kamar hotel itu.
Tiba-tiba abi Hana bertanya, "Islam?"
Meski pertanyaannya aneh, tetapi Angkasa tetap menjawabnya karena takut membuat suasana memburuk. Dia pun mengangguk.
"Bisa jadi khatib sholat jum'at?" tanya pria paruh baya itu lagi yang lagi ditegur Hana.
Abinya mengangkat sebelah tangannya agar Hana tak ikut campur.
Mendengar pertanyaan itu Angkasa rasanya baru dilempar bom nuklir.
KAMU SEDANG MEMBACA
ILA LIQO
Teen FictionHana yang pecicilan dijodohkan dengan Pak Abi, dosennya yang super tenang.