18

3.5K 251 16
                                    

Pukul setengah tiga dini hari, mobil yang ditumpangi rombongan Hana berhenti di pos peristirahatan untuk beristirahat tentunya, beribadah, dan berganti kendaraan dengan jeep karena Hiace tak memiliki akses untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Jalannya berbelok-belok, menanjak-menurun, terjang sana-sini. Harus mobil tahan banting untuk mencapai titik tujuan mereka.

Hana dan enam pasukan pria turun dari mobil menuju warung di pinggiran jalan untuk sekadar menghangatkan tubuh mereka dengan kopi atau pun teh. Cuaca di pagi buta itu benar-benar dingin bahkan sampai membuat embusan napas berasap.

Selagi memesan sesuatu di warung, Hana dan Pak Abi pergi ke toilet untuk berganti baju yang lebih cocok untuk perjalanan itu.

Hana mengganti rok plisketnya dengan celana hitam. Kemejanya dia ganti dengan tunik rajut yang dipadu dengan sweter hitam dan dilapisi lagi dengan jaket kulit cokelatnya. Itu ide Pak Abi, bukan Hana sendiri. Katanya biar Hana tak kedinginan. Sedikit sesak memang, tetapi benar-benar melindungi Hana dari suasana dingin.

Setelah memakai kerudung hitam instannya, Hana kembali ke warung. Teh tawar dan mie kuah pesanannya yang telah berada di meja.

Pak Abi yang lebih dulu kembali ke warung itu segera memanggil Hana untuk duduk di sampingnya.

Tahu saja kalau Hana hendak duduk di samping Angkasa yang juga sedang kosong.

Hana duduk di sebelah Pak Abi yang kini berganti setelan serba hitamnya.

Ganteng banget mirip oppa-oppa Korea puooooool.

Pak Abi mengambil pesanan Hana yang berada di depan Angkasa, lalu meletakkannya di hadapan Hana.

"Ke penanjakan 1?" tanya Pak Abi pada teman-temannya.

Ko Anggara mengangguk. "Iya, kebetulan bukan hari libur, jadi bisa ke sana."

Pak Abi mengangguk-angguk. Lalu mereka mengobrol santai sembari menghabiskan makanan dan minuman mereka.

"Masih nggak percaya sih, kamu nikah sama si Hana, Bi," ujar Pak Hanif yang baru saja menandaskan isi mangkoknya.

Pak Abi yang baru selesai memakan gorengan menyeka mulutnya dengan tisu, dua lalu terkekeh ringan.

Hana memilih diam saja menikmati teh hangatnya. Sekali dia menjawab, maka Pak Abi akan melimpahkan jawaban pertanyaan lain padanya dan dosennya itu akan diam seperti sebelum-sebelumnya.

"By the way, Hana. Nikah sama Abi langsung hijrah, ya? Beberapa hari di kampus saya lihat kamu pake hijab terus sampe sekarang."

Masih kena juga!

Hana tersenyum manis seperti rasa tehnya.

Ya apa urusannya sama Bapak!

Lain di batin, lain di ekspresi. Ratunya pencitraan memang Hana ini.

"Haha, iya, Pak. Saya diancam. Ancamannya nggak main-main, saya langsung dipindahin ke pesantren, nih."

Pak Abi menatap Hana dengan kedua alis mengangkat.

Mengada-ngada ini bocil.

Jika bisa berbicara rautnya, seperti itulah suaranya.

Pak Hanif tertawa ala bapak-bapak. "Bagus itu. Ancaman memang cocok untuk mendidik kamu. Buktinya sekarang kamu mulai berhijab."

Weh, apaan. Yakali, Pak.

"Terima kasih atas pujiannya, Pak," ujar Hana sembari berpose sopan menundukkan kepalanya.

Pak Abi menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jangan jadi presenter, Na. Kamu cocok jadi penulis aja, ngarang-ngarang cerita," ujar Pak Abi yang membuat Ko Anggara terkekeh.

ILA LIQOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang