31

3.6K 269 37
                                    

Saat langit baru menampakkan sinarnya, Pak Abi dan Hana mengelilingi area gedung apartemen untuk berolahraga pagi. Sebenarnya tak olahraga yang gimana-gimana, hanya jalan kaki tapi targetnya 3000 langkah.

Sedikit sih, tapi bagi Hana yang semager itu sebelum bertemu Pak Abi, terasa seperti dipaksa jalan ratusan ribu langkah, dipagi hari pulak.

Untung kegiatan ini sudah berjalan hampir sebulan, jadi saat ini sudah tak terasa berat lagi meskipun seminggu harus tiga kali. Awal-awal rasanya Hana ingin mengacak-acak punggung Pak Abi, tapi dia ingat Pak Abi merupakan dosen killernya. Mana berani brokkk. Ngelihat matanya saja sudah geter itu dengkul Hana.

Saat ini, Hana dan Pak Abi sedang duduk lesehan di taman sembari sarapan yang baru mereka beli dengan pemandangan orang-orang yang sedang olahraga pagi.

"Kita pindahannya nanti setelah kamu pulang saja, kira-kira jam berapa?" tanya Pak Abi sembari membuka kuah bubur milik Hana dan menuangkannya.

"Sebelum maghrib kayaknya saya sudah di rumah, Pak," jawab Hana lalu berterima kasih setelah Pak Abi memberikan bubur yang siap makan.

Pak Abi mengangguk. "Kalo begitu ba'da maghrib saja kita."

"Udah dipack semua, Pak?" tanya Hana.

"Tinggal baju-baju yang dilemari."

Hana hormat sekilas. "Saya berangkat jam 10 nanti, biar saya aja yang masukin," katanya.

Pak Abi mengangguk menyetujui lalu fokus menyendok buburnya.

"Bapak punya cita-cita nggak?" tanya random sebagai pengisi obrolan sarapan mereka.

"Dulu banyak. Pilot, dokter, arsitek, penceramah, dosen, dan lain-lain," jawab Pak Abi.

"Kenapa dulu? Sekarang emang nggak punya cita-cita?"

"Kan sudah terwujud."

Hanya menepuk jidatnya. Iya juga ya. Pak Abi sudah berada di masa 'menjadi apa' tak sepertinya yang sedang di masa 'ingin menjadi apa'.

Artinya Pak Abi sudah tua!

"Kamu sendiri?" tanya Pak Abi balik.

"Dokter sih Pak, tapi nggak bisa," jawab Hana sembari mengaduk-aduk buburnya.

"Kenapa? Kalo kamu bertekad saya bisa membantu, belum terlalu terlambat karena kamu masih muda."

"Masalahnya saya bodoh," ujar Hana sembari mengakak.

"Wah kalo itu saya nggak bisa membantu," kelakar Pak Abi sembari ikut mengakak.

"Tapi, Na  .... "

Hana menghentikan tawanya dan menoleh ke arah Pak Abi.

"Rasulullah pernah bersabda, 'Janganlah salah seorang di antara kamu berkata: diriku buruk, tetapi katakanlah: diriku kurang'. Sebab ketika kamu berkata buruk entah kepada diri kamu sendiri atau kepada orang lain, sejatinya kamu sedang mencela Penciptanya, padahal Allah menciptakan kita sebaik-baiknya."

Pak Abi lalu membelai kepala Hana yang tertutup hijab moka dengan sayang. "Nggak ada manusia bodoh, yang ada hanya manusia kurang mengerti, Na," katanya dengan pandangan lembut.

Suasana sudah begitu romantis tiba-tiba Hana berkata,

"Pak," panggilnya yang membuat Pak Abi menaikkan kedua alisnya.

"Bapak suka saya, ya?" katanya dengan pede sekali, membuat Pak Abi tertawa renyah.

"Saya tahu sifat kamu selalu to the point menanyakan yang terlintas di kepala kamu tanpa banyak berpikir, tapi saya tetep kaget dengernya. Seperti malam itu, jantung saya hampir meledak mendengarnya."

ILA LIQOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang