Enbi duduk dibawah sofa menunggu Rafdi yang belum sadar diri. "Raf, lo kenapa nggak bangun-bangun?" gumamnya sambil memeluk erat telapak tangan kanan Rafdi.
"Sabar aja Mbak Enbi, lagian tadi Bunda Rahma juga udah ngizinin teman kakak nginep disini," ujar Aira, perempuan yang membukakan gerbang untuk Rafdi tadi.
"Tapi dia nggak bangun-bangun Ra, aku takut dia kenapa-napa," paniknya.
"Apa kita bawa ke puskesmas aja kak?" celetuk Aira.
Enbi berpikir sejenak, ini sudah satu jam sejak Rafdi pingsan dan Rafdi belum juga sadar. Tentu saja Enbi panik. Ia lalu menatap Aira yang duduk disampingnya. "Boleh Ra, kita bawa aja ke puskesmas, aku ben-"
"Uhuk.. uhukk.."
"Raf!" Enbi mendekat kearah Rafdi yang terbatuk. Aira refleks mengambil gelas berisi air putih dan menyodorkannya pada Rafdi.
Enbi langsung mengambilnya. "Minum dulu Raf," ujarnya lalu menyodorkan minuman itu ke Rafdi. Rafdi dengan senang hati menerimanya, meskipun hanya meneguknya sedikit saja karena mulutnya terasa pahit.
"Sayang," Aira yang mendengarnya langsung gelagapan. Tak mau menjadi obat nyamuk, ia memilih pamit pada Enbi.
"Mbak Enbi, s-saya masuk dulu ya. Nanti kalau ada apa-apa telpon aja," pamitnya.
Enbi mengangguk saja, karena dia juga tidak enak menganggu waktu istirahat Aira. Apalagi sekarang sudah pukul sepuluh malam. Enbi meletakkan gelas itu diatas meja. Lalu menatap Rafdi yang kini juga menatapnya dengan posisi duduk.
"Aku kangen banget sama kamu Bi, kamu dihubungin nggak bisa," Enbi merasa bersalah. Kemarin memang ia memblokir nomor Rafdi karena sedang kesal. Tak menyangka kalau Rafdi akan menyusulnya kesini.
"Tangan kamu panas banget Raf," panik Enbi saat merasakan telapak tangan Rafdi yang mengelus pipinya terasa panas sekali.
Rafdi hanya bisa tersenyum. Karena yang ia rasakan juga sekarang badannya mengigil dan kepalanya pusing.
"Raf, ayo kita ke puskesmas sekarang!"
Rafdi menggeleng, "Enggak usah sayang, aku cuma butuh istirahat aja, besok juga sembuh."
"Tap-"
"Obat aku cuma kamu."
Hoeek. Enbi rasanya ingin muntah. Namun itu hanya bercanda. Habis gimana? Meskipun ia jijik, ia suka digombali oleh Rafdi.
"Sayang, peluk!" pinta Rafdi yang kini sudah duduk sambil merentangkan tangan.
Enbi ingin sekali menolak, karena sekarang mereka di panti asuhan. Takur Rafdi tingkahnya diluar nurul lagi. Namun dia juga kasihan melihat keadaan Rafdi. Akhirnya dia berdiri dan duduk disamping Rafdi. Mereka langsung berpelukan dengan erat.
"Raf, badan kamu panas banget sumpah!" cicitnya cemas, Enbi bahkan tak merasa nyaman dengan pelukan ini. Terbayang-bayang saat Rafdi roboh dipelukannya.
"Tunggu sini, aku ambilin makan sama obat," ujar Enbi lalu melepaskan pelukannya.
Rafdi menggeleng. "Nggak usah, kamu disini aja nanti juga sembuh."
"Nggak usah ngarang Raf. Nggak ada orang sakit ngegombal langsung bisa sembuh!" omel Enbi, habis Rafdi ngeyel mulu orangnya.
"Beneran Bi, suwer deh!"
"Halah-halah Raf, udah tuh mulut mending mingkem Raf. Daripada buat modus mulu!"
Setelah itu Enbi melenggang pergi menuju dapur. Mengambil piring, sendok dan meletakkannya di nampan bersama dengan telor ceplok dingin yang dibuatkan Aira setengah jam yang lalu. Setelah itu ia kembali ke tempat Rafdi. Dari kejauhan Enbi bisa melihat Rafdi yang bersandar dipunggung sofa.
Lilo emang kampret! Ngapain sih ngasih tau Rafdi kalau gue disini!
"Ayo makan dulu!" titah Enbi yang sudah duduk disamping Rafdi.
Rafdi mengulum senyumnya, ya ampun kalau tahu sakit bisa membuat Enbi perhatian. Mungkin dari kemarin saja dia pura-pura sakit. "Sayang, mau peluk," Rafdi sudah merentangkan tangan namun langsung ditoyor Enbi.
"Enggak! Jangan mesum disini! Banyak anak kecil!" tolak Enbi.
Rafdi mengerucutkan bibirnya, kedua lengan tangannya turun. "Lagian siapa yang mau mesum sih sayang, kan cuma mau peluk," rengeknya.
Enbi berdecih lalu menyendok makanan dan membawa kedepan mulut Rafdi. "Gue lebih percaya matahari itu nggak panas Raf, daripada percaya lo cuma minta peluk!"
Rafdi langsung terbahak, tahu saja Enbi ini. Kalau niatnya memang bukan cuma dipeluk tapi mau minta ciuman sekalian. "Habis kamu gemesin sayang."
"Buka mulutnya Raf!" Rafdi menurut dan membuka mulut menerima sendokan dari Enbi. Setelah itu mengunyah dan menelan makanannya.
"Kamu rencana mau pulang kapan sayang?" celetuk Rafdi.
"Rencana ya besok Raf, nggak mungkin gue ijin lama-lama orang suratnya berlaku dua hari. Tapi kalau liat keadaan lo kayak gini kayaknya pulang agak siangan sih," jawab Enbi.
Rafdi mengerutkan keningnya. "Emang kalau mau pulang besok, rencananya mau pulang jam berapa? Naik apa?" cerocosnya memberondonh pertanyaan.
Enbi menyendekkan makanan lagi ke mulut Rafdi lalu menjawab. "Rencana ya jam empat subuh mau naik bus ke terminal, nyampai sana kan jam 6 jadi masih ada waktu buat siap-siap lah."
"Pagi banget sayang, kamu nggak takut diapa-apain gitu dijalan?"
Enbi meletakkan piring yang tinggal nasi putih saja itu. Tidak mungkin juga ia menyuapi Rafdi dengan nasi saja. "Ya enggaklah Raf, lo pikir disinetron orang kalau naik bus pasti kena kejahatan," jawabnya.
Namun tetap saja Rafdi tidak percaya. Ia meraih kedua telapak tangan Enbi dan mengenggamnya. "Sayang, jangan marah lagi. Aku tahu kamu sengambek itu sampai nggak mau kerja. Lagian, kamu kan nggak sakit kok bisa dapet surat dokter?" tanya Rafdi penasaran.
Enbi tersenyum geli. "Gue kasih tahu ya Raf, ini rahasia. Jangan bocor ke orang lain. Sebenarnya gue beli surat dokter," kekehnya.
Rafdi terbelalak, pasalnya selama ini dia tidak tahu kalau surat dokter bisa dibeli. "Hah? Dimana belinya sayang? Masa bisa gitu?"
"Bisalah Raf. Gue belinya di bidan, cuma lima puluh ribu bisa ditulis sendiri."
Rafdi bernapas lega mendengarnya. "Aku pikir kamu beneran sakit sayang, aku cemas banget. Kamu juga blokir aku, ngeselin banget!" keluhnya dengan wajah melas.
Enbi tersenyum getir lalu menunduk. "Tubuh gue emang nggak sakit Raf, tapi hati gue," lirihnya namun masih didengar oleh Rafdi.
Rafdi langsung menarik tubuh Enbi dan membawa ke pelukannya. Mengusap lembut punggung kekasihnya. "Aku minta maaf sayang. Aku janji bakal berusaha lepas dari Ciani. Atau kita nikah lari aja sayang?"
Mendengar hal itu, Enbi langsung mendorong dada Rafdi hingga pelukan mereka terlepas. "Jangan gila Lo Raf! Meskipun gue cewek miskin dan nggak punya orang tua. Gue nggak segampang itu lo ajak nikah lari!" omelnya dengan wajah kecewa.
"Nggak gitu, maksud a-"
"Udah Raf, jangan bikin gue bete. Lo lagi sakit juga. Jangan bahas itu, gue males. Ayo berdiri gue ant-"
"Kita belum selesai ngomong Bi!" potong Rafdi lalu mendudukan tubuh Enbi yang tadinya sudah berdiri. Enbi berusaha memberontak namun lengannya dicekal Rafdi.
"Denger Bi, oke kalau kamu nggak mau nikah lari. Aku bakal berusaha lepas dari Ciani."
"Nggak cuma lepas Raf, kalau orang tua lo juga nggak suka gue. Kita selesai aja."
●○○○●
Serius nih guys
Kalen kalau jadi Enbi sama Rafdi gimana gess?
Gaskeun atau kaburr niich
KAMU SEDANG MEMBACA
Enbi Solo (21+)
Romance21+ Romance, Comedy ■■■ Setelah sekian lama menganggur. Enbi di terima di sebuah perusahaan penerbitan sebagai Editor. Namun kesialanya datang saat Enbi tahu kalau Ketua Tim divisinya adalah sang mantan. Lalu kesialanya datang bertubi - tubi saat...