"Kelulusan bareng Mama Mina"

263 28 56
                                    


Besok adalah hari kelulusan si bungsu Cahyadi dari sekolah menengah pertamanya. Semua saudaranya sudah bersemangat untuk acara besok, namun si tokoh utama malah terduduk sendu di dalam kamarnya sembari menatap langit malam dari balik jendela.

Ditangannya ada sebuah bingkai berisi foto seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik. Mata rubahnya tak lepas memandangi foto yang sudah usang tersebut.

"Ma, sekarang mama ada dimana? Apa mama gak kangen sama Ayen?"

Chan dan Minho yang tadi ingin masuk kedalam kamar si bungsu untuk mencoba baju yang akan dipakai besok malah mematung. Kedua abang tertua itu tidak jadi masuk, dan malah mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit.

"Temen-temen Ayen pas lulus sekolah di anter mamanya. Ayen juga mau kayak gitu, Ayen mau banggain ke temen-temen kalo Ayen punya mama cantik, baik hiks.... dan Ayen juga mau dipeluk mama pas Ayen lulus. Hiks.. hiks...Mama kenapa pergi pas Ayen masih kecil? Ayen bahkan gak inget muka mama kalo gak liat di foto, mama gak sayang ya sama Ayen... hiks... hiks... hiks... "

Punggung kecil itu terlihat naik turun diikuti isakan. Bangchan yang melihat hal itu buru-buru masuk kedalam kamar dan memeluk adik bungsunya. Sedangkan Minho terduduk di lantai depan kamar Jeongin. Hatinya ikut sesak melihat adiknya menangis seperti itu.

"Innie..... " Panggil Chan sembari mengeratkan pelukannya.

"Bang, hiks... hiks... Ayen kangen mama hiks. Ayen pengen rasain wisuda ditemenin mama hiks.. hiks." Racaunya yang teredam dada bidang sang kakak sulung.

Chan paham, adiknya itu mungkin iri melihat teman-temannya di antar oleh ibu mereka, sedangkan Jeongin tidak pernah. Chan ingat dulu saat Jeongin kelas 1 SD, dia bertanya kemana mamanya. Sungguh Chan bingung ingin menjawab apa, namun saat itu ia beralasan jika sang ibu bekerja diluar negri. Namun seiring berjalannya waktu, Jeongin tau jika ibunya meninggalkannya bersama babeh dan abang-abangnya karena tidak ingin hidup susah dan memilih bersama laki-laki lain.

Tapi Jeongin tidak bisa membenci ibunya seperti Chan, Jeongin tetap berharap suatu saat nanti sang ibu akan kembali, memanggil namanya dan memeluknya penuh kasih sayang.

"Iya abang paham, tapi kan Ayen tau keadaan keluarga kita gimana? Udah ya jangan sedih lagi, Ayenkan masih punya Babeh, abang, bang Ino, bang Abin, bang Hyunie, bang Jiji, bang Lixie sama bang Umin. Kita semua sayang sama Ayen, meskipun gak bakal bisa gantiin kasih sayang seorang ibu. Maaf ya, dulu abang gak bisa nyegah mama pergi, dan maaf Ayen harus ada di keluarga yang gak lengkap" Jeongin tidak menjawab, ia hanya menangis sesegukan.

"A-ayen mau sendiri dulu hiks... hiks... " Cicitnya. Chan yang paham langsung melepaskan pelukannya. Ia hapus air mata sang adik sembari tersenyum simpul kemudian pergi dari kamar. Jeongin tau kok jika abangnya itu tengah menahan tangis dan rasa bersalah. Karena begitulah Bangchan, ia akan menyalahkan dirinya sendiri jika saudaranya sedih atau kenapa-napa. Ia akan menganggap dirinya tidak becus menjalankan tugas sebagai kakak sulung.

20 menit termenung di atas ranjangnya. Jeongin tersentak saat pintu diketuk bersamaan dengan munculnya sesosok pemuda dengan senyum gigi kelinci yang khas.

"Bang Jeka?"

Sosok itu, Jungkook, tersenyum kemudian duduk di pinggir ranjang milik rivalnya dalam mendapat perhatian Seokjin.

"Gue mau ngajak Chan mabar, tapi kata Minho dia pergi ke studionya setelah turun dari kamar lo. Minho juga bilang, Chan keliatan kacau" Setelah menyelesaikan kalimatnya, Jungkook dapat menangkap jika remaja di hadapannya ini tengah sedih.

Tetangga?! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang