Bab 4

547 28 0
                                    

Setelah selesai makan, Mahen kembali ke kamarnya. Saat masuk, pandangannya langsung tertuju pada sebuah figura besar yang tergantung di dinding. Itu adalah foto kedua orang tua Mahen beserta dirinya. Melihat foto itu, Mahen merasa sangat sedih dan terdiam. "Orang tua Mahen sama seperti kedua orang tuaku di kehidupan sebelumnya," pikirnya, merasa ada benang merah yang menghubungkan kehidupannya sekarang dengan yang dulu.

Mahen mengelilingi kamarnya, mencari ponselnya. Setelah beberapa saat, ia menemukan ponsel tersebut di atas meja belajarnya. Mahen mengambilnya dan melihat tidak banyak pesan yang masuk. Media sosialnya juga tampak sepi, mencerminkan betapa Mahen, seperti dirinya dulu, tidak pandai berinteraksi.

Namun, ada banyak pesan dari Kanaya, tunangannya sekarang. Mahen bingung, karena di dalam novel, dirinya tidak terlalu dekat dengan Kanaya. "Kenapa Kanaya mengirimkan banyak pesan?" gumam Mahen.

Mahen membuka pesan-pesan dari Kanaya dengan hati-hati, merasa canggung dengan hubungan mereka yang tidak begitu dekat dalam cerita novel. Saat ia mulai membaca.

Kanaya

Mahen, kamu kemana aja? Kenapa gak masuk sekolah lagi-

Aku khawatir sama kamu. Apa kamu baik-baik aja-

Kamu sakit? Kalau ada apa-apa, tolong kabarin aku ya-

Kenapa gak balas pesanku? Ada yang salah?-

Mahen, tolong jangan bikin aku khawatir seperti ini.-

Aku udah tanya ke teman-temanmu, tapi mereka juga gak tahu kamu kemana-

Kalau kamu butuh sesuatu, aku ada di sini buat bantuin kamu-

Serius, Mahen. Kamu gak biasanya kayak gini. Ada apa-

Tolong balas pesanku. Aku benar-benar khawatir-

Mahen membaca pesan-pesan tersebut dengan perasaan campur aduk. "Kenapa dia begitu khawatir padaku? Bukankah di dalam cerita, kita tidak begitu dekat?" pikir Mahen.

Setelah melihat pesan dari Kanaya dirinya tidak berniat membalas apapun,  tiba-tiba ponselnya berdering, menerima telepon dari mamanya. Mahen segera mengangkatnya, tetapi yang terdengar bukan suara mamanya, melainkan suara seorang laki-laki. "Halo, apakah benar ini dengan saudara Mahen?" tanya suara itu.

Mahen merasakan firasat buruk. "Iya, ini saya. Siapa ini?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Ini dari pihak kepolisian. Saya mengabari bahwa kedua orang tua Anda mengalami kecelakaan dan sekarang kritis di rumah sakit," kata suara itu.

Mahen terkejut, jantungnya berdetak kencang. "Apa? Di rumah sakit mana? Bagaimana kondisinya?" tanyanya panik.

"Orang tua Anda berada di Rumah Sakit Umum. Kami mohon Anda segera datang ke sini," jawab polisi tersebut.

Mahen segera memanggil Bi Inah, pelayan di rumahnya. "Bi Inah, tolong panggilkan Pak Sopir. Saya harus segera ke rumah sakit umum," kata Mahen dengan suara tergesa-gesa.

Bi Inah mengangguk dan bergegas memanggil Pak Sopir. "Aden Mahen, mobil sudah siap di depan," kata Bi Inah beberapa menit kemudian.

Mahen segera menuju mobil dan Pak Sopir mengantarnya ke rumah sakit dengan cepat. Setibanya di rumah sakit, Mahen bergegas menuju ruang informasi. "Permisi, di mana orang tua saya yang mengalami kecelakaan?" tanyanya dengan cemas.

Setelah bertanya, seorang perawat mengarahkan Mahen ke ruang ICU. "Ayah Anda tidak bisa selamat, sedangkan ibu Anda kritis dan sedang ditangani oleh dokter," kata perawat tersebut dengan nada simpatik.

Mahen merasa dunianya runtuh. "Tidak mungkin...," bisiknya, merasa air mata mulai mengalir di pipinya. Ia berjalan menuju ruang ICU, hatinya berat dengan kesedihan.

Tiba-tiba seorang perawat wanita mendekatinya. "Permisi, saudara Mahen. Anda perlu mengisi berkas pembayaran dan formulir kematian untuk ayah Anda," kata perawat tersebut.

Mahen menatap perawat itu dengan mata kosong. "Iya, saya akan mengisinya," jawabnya dengan suara lemah.

Setelah mengisi berkas-berkas yang diperlukan, Mahen duduk di ruang tunggu ICU, menunggu kabar lebih lanjut tentang kondisi ibunya. "Bagaimana bisa semua ini terjadi?" pikirnya, mencoba memahami kenyataan yang begitu kejam.

Dalam keheningan ruang tunggu, Mahen berdoa dalam hatinya, berharap ibunya bisa selamat. "Aku harus kuat. Untuk diriku dan untuk Mama," tekadnya, berusaha menenangkan dirinya di tengah badai emosional yang melanda.

𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang