Bab 30

198 8 0
                                    

Hari sudah malam, dan di sebuah ruangan rumah sakit terdapat tiga orang yang tertidur dengan posisi yang berbeda-beda. Mahen tidur di kursi samping tempat tidur dengan kepala tertunduk, Kanaya meringkuk di sofa dengan selimut tipis menutupi tubuhnya, dan Mamanya Mahen terbaring di tempat tidur, napasnya tenang dan teratur setelah kejadian sebelumnya.

Tiba-tiba, dering ponsel dan getaran dari saku celana Mahen membangunkannya dari tidur. Ia mengucek mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya, lalu mengambil ponselnya. Nama Pak Hadi tertera di layar.

Mahen segera bangkit, berjalan keluar ruangan dengan hati-hati agar tidak mengganggu tidur nyenyak Kanaya dan Mamanya. Ia menjawab telepon dengan suara yang masih serak.

"Pak Hadi, ada apa?" tanya Mahen, berusaha menahan kantuk.

"Tuan Mahen, besok ada rapat penting. Dan tidak bisa di-cancel," jawab Pak Hadi dengan nada tegas namun penuh pengertian.

Mahen menghela napas dalam-dalam. "Baik, Pak. Saya akan hadir. Tolong siapkan segala berkas yang dibutuhkan. Saya tidak sempat menghandle semuanya, tapi saya akan memeriksanya sebelum rapat," jawab Mahen, berusaha terdengar profesional meski pikirannya masih setengah terjaga.

Setelah menyelesaikan telepon dengan Pak Hadi, Mahen kembali masuk ke ruangan Mamanya.

Namun, hatinya tiba-tiba berdebar kencang ketika melihat tempat tidur Mamanya kosong. Berbagai pikiran negatif terlintas di pikirannya, takut terjadi sesuatu pada Mamanya.

Ia segera memeriksa kamar mandi, tetapi nihil. Setiap sudut ruangan pun tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaan Mamanya.

"Mama! Mama, di mana?!" teriak Mahen panik, suaranya menggema di ruangan yang sepi.

Dengan napas yang tersengal-sengal dan hati yang diliputi kecemasan, Mahen berlari keluar ruangan, mencari perawat atau siapa pun yang bisa memberikan informasi. “Mama, di mana Mama?!” panggilnya lagi, air mata mulai menggenang di matanya.

Kanaya yang terbangun karena suara Mahen segera berdiri, pandangannya bingung melihat Mahen yang tampak panik. "Mahen, ada apa?" tanya Kanaya, suaranya penuh kekhawatiran.

"Mama hilang, Kanaya! Aku tidak tahu di mana dia!" jawab Mahen, suaranya bergetar karena ketakutan dan keputusasaan.

Kanaya segera mendekati Mahen, mencoba menenangkannya. "Kita cari bersama-sama, Mahen. Tenang, kita pasti menemukan Mama," ujarnya dengan suara lembut namun tegas, mencoba memberikan kekuatan kepada Mahen di tengah situasi yang penuh tekanan ini.

Mahen mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. Mereka berdua mulai mencari ke setiap sudut rumah sakit, berharap menemukan Mamanya dalam keadaan baik-baik saja.

Dengan langkah cepat dan hati yang berdebar, mereka berdua berjuang melawan ketakutan yang menguasai pikiran mereka.

Mahen meminta tolong kepada pihak rumah sakit untuk ikut mencari Mamanya. "Tolong bantu saya mencari Mama saya! Dia hilang, tolong cek setiap ruangan dan lorong. Saya sangat khawatir," katanya dengan nada putus asa, tatapannya penuh permohonan.

Mahen mulai menyusuri setiap ruangan di rumah sakit, memeriksa kamar demi kamar, namun tidak ada tanda-tanda Mamanya. Dengan detak jantung yang semakin cepat dan perasaan cemas yang semakin memuncak, Mahen berlari keluar rumah sakit, berharap dapat menemukan Mamanya di luar.

Benar saja, di bawah sinar bulan yang redup, Mahen melihat sosok Mamanya sedang berjongkok di sudut taman rumah sakit, menutupi telinganya seperti orang yang ketakutan. Hatinya seketika terasa hancur melihat kondisi Mamanya.

"Mama!" teriak Mahen, berlari secepat mungkin mendekati Mamanya. Sesampainya di sana, tanpa basa-basi, Mahen memeluk Mamanya dengan erat, berusaha memberikan rasa aman yang sangat dibutuhkan."Mama, ini Mahen. Tenang, Mama aman," bisik Mahen sambil memeluk erat Mamanya. Meskipun Mamanya sesekali berontak, Mahen tetap memeluknya erat, mencoba menenangkan hati yang gelisah itu.

"Papamu! Di mana Papamu?" teriak Mamanya dengan isakan yang dalam, matanya penuh ketakutan dan kebingungan. "Papamu... mereka akan menyakitinya!"

Mahen merasa hatinya hancur mendengar teriakan penuh kepedihan dari Mamanya. "Mama, jangan takut. Mahen di sini. Mahen tidak akan membiarkan apa pun terjadi pada Mama," ujarnya sambil melangkah cepat namun hati-hati, berusaha agar Mamanya merasa tenang.

"Mama, please. Ini Mahen. tenanglah," ucapnya sambil mengusap lembut punggung Mamanya.

Dengan penuh kekuatan dan kasih sayang, Mahen mengangkat Mamanya dan membawanya kembali ke dalam rumah sakit. Setiap langkah terasa berat, tetapi Mahen tidak peduli. Yang terpenting sekarang adalah memastikan keselamatan dan kenyamanan Mamanya.

"Mama, Mahen di sini. Jangan takut. Mahen akan selalu bersama Mama," bisik Mahen berulang kali, berusaha menenangkan hati yang gundah itu. Setiap kali Mamanya berontak, Mahen dengan lembut namun tegas menahan dan terus memberikan kata-kata penenang.

"Mahen, kau janji akan membawa Mama menemui Papamu! Mana janjimu? Papamu butuh kita!" teriak Mamanya dengan suara serak dan penuh isakan.

Mahen merasa hatinya tersayat mendengar teriakan itu, tetapi ia tetap berusaha tegar. "Mama, Mahen janji. Kita akan bertemu Papa. Tapi sekarang Mama harus tenang dulu, ya? Mahen mohon, Ma," ucapnya dengan suara putus asa.

Kanaya yang sedari tadi mengikuti Mahen kini hanya terdiam melihat begitu rapuhnya Mahen. Dia merasa kasihan melihat Mahen yang harus menghadapi semua ini, dan merasa tak berdaya karena tidak tahu bagaimana cara membantu.

Kanaya baru pertama kali ini melihat Mahen begitu putus asa.

Mahen akhirnya berhasil membawa Mamanya kembali ke kamar rawat. Perawat dan dokter segera memberikan perawatan yang diperlukan, sementara Mahen tetap berada di samping Mamanya, memegang tangannya dan membisikkan kata-kata yang menenangkan.

"Mama, semuanya akan baik-baik saja. Mahen di sini, dan Mahen tidak akan pernah meninggalkan Mama," katanya berulang kali dengan suara putus asa.

𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang