Bab 46

160 5 0
                                    

Mahen sekarang sedang istirahat di brankar rumah sakit. Keadaannya sudah cukup baik meskipun dirinya masih belum bisa menggerakkan tubuhnya sepenuhnya karena tenaganya belum terkumpul. Tak lama kemudian, pintu ruang rawat inapnya terbuka dengan tergesa-gesa.

Mahen melihat siapa yang datang. Ah, itu Mamanya.

Mama Hana, langsung menerobos masuk dan segera memeluk Mahen erat. Sambil terisak, "Sayang, bagaimana kamu sampai seperti ini?" kata Mama Hana.

"Hanya kecelakaan kecil, Ma," jawab Mahen, berusaha menenangkan Mamanya.

Mahen tidak bisa membalas pelukan Mamanya, jadi Mahen hanya bisa menenangkan Mamanya dengan perkataannya. "Apa yang terjadi sih? Apa karena kedua keluarga itu, sayang?" kata Mahen tapi tangisan Mamanya semakin kencang.

Mahen menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya akibat pelukan dari Mamanya. Dengan perlahan, Mahen berkata, "Ma, bisa lepasin Mahen dulu."

Mama Hana langsung melepaskan pelukannya lalu menatap Mahen dengan raut cemas. "Ada apa, sayang? Kamu ada luka yang lain?" tanya Hana sambil memeriksa tubuh Mahen.

Benar saja, Mama Hana melihat bahu Mahen yang sebelah kiri terbalut dengan perban.

"Aw!" Mahen meringis saat Mamanya memeriksa tubuhnya.

"Ini kenapa? Kok bisa sampai diperban?" tanya Mamanya.

"Tembakan," kata Mahen pelan, tidak berani menatap wajah Mamanya.

"Apa?! Astaga, mereka berani sekali!" Mama Hana terkejut.

Mahen hanya diam.

"Berapa orang?" tanya Mamanya. "Kalau sampai terluka seperti ini berarti bukan hanya satu orang."

"Lima," jawab Mahen dengan suara kecil.

Hana menutup mulutnya dengan kedua tangannya karena syok. "Lima orang?" gumam Mama Hana.

"Apakah kedua keluarga itu?" tanya Mamanya, mencoba memastikan.

Dengan ragu, Mahen mengangguk kepalanya.

"Astaga," Mama Hana bagai tersambar petir. "Apa mereka tidak cukup membuat Papamu tiada? Sekarang mereka menginginkan dirimu juga, sayang?" kata Mama Hana dengan suara bergetar.

"Mama, tenang ya. Mahen baik-baik saja, hm?" Mahen mencoba menenangkan mamanya.

Tak lama kemudian, pintu kembali dibuka dengan terburu-buru. Terlihat Kanaya melakukan hal yang sama saat pertama kali melihat Mahen terbaring di atas brangkarnya.

Mahen menghela napas rendah. "Andre, sialan," batin Mahen.

Mahen tahu yang mengabari mereka pasti Andre. Kalau tidak, siapa lagi? Semoga mereka berdua saja yang datang. Kalau tidak, bisa-bisa dirinya akan sembuh lama karena tekanan mental.

Andre masuk ke ruangan. Mahen yang sedang dipeluk Kanaya dan melihat Andre masuk langsung memberikan tatapan tajam kepadanya.

Andre hanya meminta maaf sambil mengangkat tangannya dengan dua jari. "Sorry."

Kanaya memeluk Mahen erat. "Mahen, kamu tidak apa-apa? Aku khawatir sekali," katanya dengan suara bergetar.

Mahen mencoba tersenyum. "Aku baik-baik saja."

Kini hari sudah mulai malam. Hanya Mamanya dan Kanaya yang masih menjaga Mahen. Andre tadi sudah pamit pulang setelah dicari oleh Mamanya.

Tadi, sempat ada kedua orang tua Kanaya datang menjenguk dan bersimpati terhadap Mahen serta berjanji akan membantu Mahen jika butuh bantuan.

Dan mereka juga mengajak Kanaya pulang tapi Kanaya menolak keras karena masih gigih ingin tetap menjaga Mahen. Akhirnya, kedua orang tua Kanaya hanya bisa menuruti permintaan anak kesayangan mereka itu.

Memecah keheningan, Mahen bertanya dengan suara serak, "Bagaimana keadaan Laura?"

Kanaya langsung menatap Mahen dengan tajam, "Kok malah nanya cewek lain sih?" kata Kanaya, nadanya penuh kekecewaan.

Mahen terkekeh lemah, "Wajahmu kusut seperti kanebo," ujarnya dengan senyum.

Kanaya semakin kesal dan menghempaskan genggaman tangannya dari tangan Mahen. "Aw," Mahen meringis, berpura-pura kesakitan.

Kanaya buru-buru mendekat, "Mana? Mana yang sakit?" tanyanya khawatir.

Mahen tertawa kecil, "Kamu itu loh, kok malah bercanda sih?" Kanaya tidak terima karena merasa dikerjai.

Mahen menatap Kanaya lembut, "Aku tidak apa-apa. Wajahmu terlihat jelek jika terlalu lama menangis," ujarnya serius.

"Senyum," perintah Mahen lembut.

"Apa?" Kanaya masih kesal.

"Senyum, Kanaya," ulang Mahen, matanya memohon.

Dengan enggan, Kanaya tersenyum tipis.

"Lebih natural," pinta Mahen, suaranya lembut dan penuh perhatian.

Kanaya menarik napas dalam-dalam, merilekskan wajahnya, dan tersenyum lebih lepas.

Mahen menatapnya dalam-dalam, "Cantik," puji Mahen, "Kau cantik jika tersenyum, jadi jangan menangis, hm?"

Sontak, Kanaya merasa pipinya memerah. "Kamu... kamu nyebelin," ujarnya pelan, mencoba menutupi rasa malunya.

Ingin rasanya Kanaya salto، kayang, terbang, dan kalau bisa teriak di depan muka Mahen langsung. Bisa-bisanya di saat seperti ini si gak peka Mahen bisa membuatnya salting brutal.

Mahen hanya tersenyum geli melihat tingkah Kanaya.

Mahen tertidur pulas karena lelah, sementara Kanaya juga tertidur di sampingnya. Ketiganya tidur nyenyak.

Pagi itu dimulai dengan Mama Hana yang terbangun terlebih dahulu, diikuti oleh Kanaya. Mahen masih tertidur pulas, kelelahan masih terasa di tubuhnya. Dengan lembut, Mama Hana membangunkan Mahen karena sudah waktunya sarapan dan minum obat.

"Mahen, sayang, bangun. Sudah waktunya sarapan," bisik Mama Hana sambil mengusap pelan rambut Mahen.

Mahen perlahan membuka mata, merasakan kelembutan sentuhan ibunya. "Iya, Ma," jawabnya pelan.

Mama Hana mengambil makanan yang barusan diserahkan oleh suster, sementara Kanaya membantu Mahen mengubah posisinya menjadi duduk.

Dengan lembut, Mama Hana menyuapi Mahen makan. Kanaya tadi keluar sebentar, entah untuk apa, dan Mahen tidak terlalu memikirkannya. Mahen makan dengan lahap setiap suapan yang diberikan oleh Mamanya. Setelah makan, Mahen meminum obatnya dan segera kembali tidur.

Mama Hana memastikan bahwa Mahen sudah tertidur sebelum berjalan menjauh, memberinya ruang untuk beristirahat dengan tenang. Ia menuju sofa dan duduk, menghela napas lega.

Hari sudah siang, dan keadaan Mahen sudah mulai membaik, meskipun luka tembakan butuh waktu lama untuk sembuh total. Kini, Mahen sedang membaca buku yang dibawa oleh Kanaya. Ternyata, tadi Kanaya keluar sebentar untuk mengambilkan buku untuknya. Kebaikan hati Kanaya membuat Mahen tersenyum.

Mahen kini sendirian di rumah sakit, setelah menyuruh Mamanya dan Kanaya pulang untuk beristirahat sebentar. Meskipun tadi sempat ada perdebatan kecil antara mereka, dengan paksaan Mahen mengatakan bahwa jika mereka berdua tidak pulang, maka dirinya sendiri yang akan pulang. Dengan terpaksa, mereka berdua pulang.

Mahen tersenyum geli ketika mengingat raut kesal Mamanya dan Kanaya. Terlihat seperti anak kecil, padahal mereka sudah dewasa. Mahen fokus membaca bukunya, menikmati kedamaian yang akhir-akhir ini hilang dari kehidupannya. Dirinya bisa sedikit rileks, mungkin ia harus berterima kasih pada kelima pria berbaju hitam itu yang tanpa sengaja telah memberikan kedamaian ini.

Mahen tadi sempat bertanya pada Kanaya tentang ponselnya. Kanaya menjelaskan bahwa ponselnya dibawa oleh Mama Hana, yang mengatakan bahwa Mahen tidak boleh memegang hp atau laptop untuk sementara waktu karena bisa mengganggu waktu istirahatnya.

"Benar juga," pikir Mahen.

Jika ia masih memegang ponsel, mungkin dirinya akan sibuk menyelesaikan pekerjaan yang pasti sudah menumpuk. Apalagi setelah insiden kemarin, pasti banyak investor dan klien besar yang protes.

Namun, untuk saat ini, Mahen memutuskan untuk menikmati momen kedamaian ini. Ia melanjutkan membaca bukunya.

𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang