Dalam keheningan ruangan ICU, Mahen duduk di sebelah ranjang ibunya yang terbaring lemah. Di sebelahnya, Kanaya tetap setia menemani, sementara Bi Inah sudah ia suruh pulang untuk beristirahat.
Kesunyian di antara mereka terasa berat, sampai akhirnya Kanaya memecahkannya.
"Mahen, kenapa kamu tidak menghubungiku?" tanya Kanaya dengan suara lembut, tetapi penuh kekhawatiran.
Mahen terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Maaf, Kanaya. Aku... aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Semua ini terlalu mendadak dan berat," jawabnya ragu-ragu.
Kanaya menatap Mahen dengan mata penuh pengertian. "Aku mengerti, Mahen. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada untukmu. Jangan merasa sendirian."
Mahen menghela napas dalam-dalam. Ia masih merasa tidak nyaman dengan kehadiran Kanaya, terutama karena sikap Kanaya yang berbeda dari yang digambarkan dalam novel. Namun, ia menghargai niat baiknya. "Terima kasih, Kanaya. Aku benar-benar menghargai itu," katanya dengan suara pelan.
Kanaya berusaha melanjutkan percakapan. "Bagaimana keadaan ibumu? Apakah dokter sudah mengatakan sesuatu?"
Mahen mencoba mengakhiri percakapan dengan cepat. "Belum ada perkembangan baru. Aku hanya bisa berdoa dan menunggu," jawabnya singkat, sambil memandang ke arah pintu ICU.
Melihat Mahen yang terus berusaha mengakhiri pembicaraan, Kanaya tetap tidak menyerah. "Mahen, jika ada yang bisa aku bantu, tolong beritahu aku. Aku tidak ingin kamu merasa sendirian dalam menghadapi semua ini," kata Kanaya dengan suara penuh keprihatinan.
Merasa sudah cukup dengan percakapan tersebut, Mahen mengambil ponselnya dan menelepon Pak Sopir. "Pak, tolong ke rumah sakit sekarang. Dan antar Kanaya pulang," kata Mahen.
Kanaya terkejut dan mencoba menolak. "Mahen, aku masih ingin di sini bersamamu. Aku tidak ingin pulang," katanya dengan nada memohon.
Namun, Mahen bersikukuh. "Kanaya, ini sudah cukup malam. Kamu butuh istirahat. Tolong, pulanglah. Aku akan baik-baik saja di sini," katanya dengan tegas namun lembut.
Akhirnya, Kanaya mengalah. "Baiklah, aku akan pulang. Tapi tolong, jika kamu butuh apa-apa, hubungi aku, ya," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Mahen mengangguk. "Terima kasih, Kanaya. Aku akan menghubungimu jika butuh sesuatu. Hati-hati di jalan," katanya, merasa sedikit lega setelah Kanaya akhirnya setuju untuk pulang.
Setelah mengantar Kanaya ke mobil dan melihatnya pergi, Mahen kembali ke ruangan ICU, duduk di sebelah ibunya, dan memegang tangan ibunya dengan erat. "Mama, aku akan menjaga mama. Aku janji," bisiknya, mencoba menguatkan dirinya di tengah situasi yang begitu sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)
Roman pour AdolescentsMemasuki sebuah novel adalah mimpi buruk bagi Keira. Akankah Keira dapat menyesuaikan diri dengan tubuh barunya?