Bab 26

216 7 0
                                    

Hening menyelimuti ruangan rawat inap Mamanya Mahen, hanya ada Kanaya yang menjaga di sana. Sementara itu, Mahen telah pulang ke rumahnya untuk berganti pakaian dan mengambilkan baju untuk Kanaya.

Mahen baru saja sampai di rumahnya, memarkirkan motornya di garasi. Ia turun dari motornya dan berjalan menuju kamarnya dengan langkah cepat. Segera setelah sampai di kamarnya, Mahen langsung membersihkan diri.

Setelah mandi, Mahen mengenakan pakaian santai pilihannya: kaos putih dan celana selutut warna hitam. Tidak lupa, ia menyisir rambutnya dengan rapi dan mengambil topi. "Ini lebih nyaman," gumamnya pada dirinya sendiri sambil melihat pantulan dirinya di cermin.

Setelah merasa rapi, Mahen membuka lemarinya dan mencari baju yang setidaknya pantas untuk digunakan Kanaya. "Hmm, ini mungkin cocok," katanya sambil menarik kaos warna putih senada dengan yang Mahen Gunakan.

Selesai memilih, Mahen memasukkan bajunya kedalam tas. Ia segera turun ke bawah dan menuju garasi.

Di garasi, berbagai kunci tergantung rapi di dinding. Mahen melihat betapa banyaknya kendaraan yang ada di garasi keluarga Atmaja. "Mobil saja kali ini," pikirnya. Ia mengambil salah satu kunci dan menekan remotenya, suara klakson mobil terdengar.

Mahen segera menuju mobilnya, Lamborghini Urus. Ia mengapa memilih mobil karena nanti harus mengantar Kanaya pulang, dan dirinya tidak ingin Kanaya merasa tidak nyaman. "Lebih nyaman untuk Kanaya," katanya sambil mengangguk pada dirinya sendiri.

Setelah memasukkan tasnya ke dalam mobil, Mahen melajukan mobilnya dengan segera menuju rumah sakit. Namun sebelum sampai di rumah sakit, ia mampir ke toko kue untuk membeli kue coklat kesukaan Kanaya, sebagai bentuk rasa terima kasih. "Semoga dia suka," gumam Mahen sambil melihat kue yang baru saja dibelinya.

Mahen melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit dengan hati yang lebih ringan, merasa siap untuk kembali menjaga Mamanya bersama Kanaya.

Sesampainya di rumah sakit, Mahen langsung menuju ruangan Mamanya dengan langkah cepat. Ia membuka pintu dan melihat Kanaya masih duduk di samping ranjang, dengan pandangan penuh perhatian terhadap Mamanya Mahen.

"Kanaya," panggil Mahen sambil tersenyum.

Kanaya menoleh dan tersenyum kecil. "Sudah, selesai?,"

"Hm," jawab Mahen. "Aku juga membawakan baju untukmu dan... kue coklat kesukaanmu."

Mata Kanaya berbinar. "Mahen. Kamu sangat perhatian."

Mahen menyerahkan tas dan kotak kue kepada Kanaya. "Rasa terima kasih"

Kanaya menerima tas dan kue dengan senyum lebar. "Aku tulus membantu kamu."

Mahen mengangguk. "Aku tau. Lebih baik kamu mandi dan ganti baju"

Kanaya yang mendengar perkataan Mahen mencebik kesal. "Aku ingin makan kuenya"

"Mandi lalu ganti baju." kata Mahen tegas.

"Tapi Ak-

Perkataan Kanaya langsung dipotong oleh Mahen.

"Mandi atau tidak makan kue sama sekali." Mahen mengancam.

Dengan perasaan kesal Kanaya meletakkan kuenya dan menyambar tas baju segera mandi. Mahen yang melihat tingkah Kanaya hanya menggelengkan kepala, menurutnya itu adalah hal lucu dan menggemaskan.

Menunggu Kanaya selesai mandi, Mahen memilih untuk duduk di sofa dan melanjutkan pekerjaannya yang tertunda semalam. Matanya fokus pada layar laptop.

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, menampilkan seorang pria berjas putih panjang dan berkacamata. Itu adalah dokter Hendra, dokter yang memeriksa Mamanya. Mahen segera bangkit dan menghampiri dokter Hendra.

Setelah beberapa saat, dokter Hendra menyelesaikan pemeriksaannya dan berbalik menghadapi Mahen. "Bagaimana keadaan Mama saya, Dok?" tanya Mahen dengan nada penuh harap.

Dokter Hendra menarik napas dalam sebelum menjawab. "Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kondisi Mama Anda sudah stabil. Namun, kita harus terus memantau perkembangannya."

Mahen mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar di wajahnya. "Kenapa Mama belum siuman, Dok? Katanya dua hari, tapi ini sudah lebih dari dua hari."

Dokter Hendra mencoba memberikan penjelasan dengan tenang. "Itu hanya kemungkinan. Setiap pasien memiliki respon yang berbeda. Yang penting sekarang adalah kondisi beliau sudah stabil. Kita hanya perlu sabar dan terus berharap."

Mahen merasa sedikit kecewa, tapi ia tahu bahwa yang terpenting adalah stabilitas kesehatan Mamanya. "Baik, Dok. Terima kasih atas penjelasannya."

Dokter Hendra mengangguk dan tersenyum kecil. "Sama-sama."

Setelah itu, dokter Hendra pamit dan keluar dari ruangan. Mahen kembali duduk di sofa, mencoba menenangkan pikirannya. "Setidaknya Mama sudah stabil," gumamnya kepada diri sendiri, berusaha menguatkan hatinya.

Tidak lama kemudian, Kanaya keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. "Mahen, dokter Hendra sudah datang tadi?" tanyanya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Iya, baru saja pergi. Dokter Hendra bilang kondisi Mama sudah stabil, tapi belum siuman," jawab Mahen.

Kanaya duduk di sebelah Mahen. "Itu berarti kabar baik. Mama pasti kuat. Kita harus tetap optimis."

Mahen mengangguk setuju. "Terima kasih."

𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang