Sesampainya di rumah, Mahen membuka pintu mobilnya dengan kasar dan segera bergegas menuju kamarnya. Para pelayan yang ada di rumah hanya melirik sekilas, mengetahui bahwa Mahen sedang dalam keadaan serius, lalu mereka memilih untuk melanjutkan pekerjaan mereka tanpa banyak bertanya.
Di dalam kamarnya, Mahen langsung membuka laci meja dan mengambil ponsel lama milik Papanya. Ia segera mencari sesuatu yang selama ini terus mengganggu pikirannya. Jari-jarinya dengan cepat menelusuri pesan-pesan dan catatan yang ada di ponsel itu. Akhirnya, ia menemukan apa yang dicari: sebuah pesan yang tersembunyi dalam folder arsip.
Mahen menghela napas lega, lalu segera beralih ke meja belajarnya dan membuka laptop. Dengan cepat ia menyalakan perangkat itu, matanya menatap layar dengan intens. Ia mulai mengetik dengan cepat, mencoba memastikan sesuatu yang selama ini hanya menjadi teka-teki di benaknya.
Di kehidupan sebelumnya sebagai Keira, pernah belajar meretas, meskipun tidak terlalu mahir. Namun, kemampuan dasarnya cukup untuk melacak sesuatu yang ia butuhkan saat ini. Dengan serius, ia memasukkan serangkaian kode dan data, mencoba menghubungkan semua petunjuk yang ada.
Setelah beberapa saat, matanya membulat saat layar laptop menampilkan informasi yang selama ini ia cari. "Ternyata dua keluarga bajingan, Itu," bisiknya pelan, perasaan geram dan emosi bercampur aduk dalam dirinya. Ia kini paham siapa dan apa yang ada di balik kecelakaan yang dialami orang tuanya.
Nama dan motif mulai muncul di pikirannya, menjelaskan segala kejanggalan yang selama ini menghantuinya.
Mahen menyalin semua data penting dari ponsel Papanya ke dalam laptop dengan hati-hati. Ia mencari flashdisk agar data tersebut lebih aman dan tidak mudah diakses oleh orang lain.
Setelah menemukan flashdisk, ia membuat beberapa cadangan file di berbagai perangkat untuk memastikan tidak ada informasi yang hilang atau terhapus.
Motif kecelakaan yang dialami orang tuanya ternyata hanyalah masalah sepele. Salah satu rekan bisnis Papanya, yang kalah bersaing saat merebutkan sebuah proyek besar, ternyata tega melakukan tindakan sekeji itu. "Apakah harus sampai menghilangkan nyawa seseorang hanya karena proyek?" gumam Mahen dengan suara penuh kebencian. Mereka tega sekali, pikirnya. Namun, Mahen sadar bahwa ia tidak bisa berharap dunia yang ia tempati sekarang akan berjalan normal dan adil.
Ini bukan dunia yang ia kenal. Sekarang dirinya ada di dunia novel, dunia di mana segala sesuatunya tidak terduga, bahkan lebih kejam lagi. Mahen menghela napas berat, berusaha menerima kenyataan dan pil pahit yang harus ia telan. Dunia ini penuh dengan ketidakpastian dan kejahatan yang tersembunyi di balik senyuman manis.
Dirinya sekarang bimbang. Apakah ia harus membalas dendam atau merelakan? Ia ingin sekali merelakan, namun tahu bahwa akan ada konsekuensi fatal jika ia melangkah terlalu cepat tanpa persiapan yang matang. "Lebih baik sekarang mengawasi mereka dari jauh sambil mencari bukti yang lebih kuat," pikirnya.
Mahen merasa lebih baik berhati-hati, mengumpulkan informasi dan bukti yang cukup sebelum mengambil langkah selanjutnya. “Aku harus sabar,” bisiknya, meyakinkan dirinya sendiri. Ia harus memastikan bahwa langkah yang ia ambil adalah langkah yang tepat.
Dengan tekad yang semakin kuat, Mahen menyimpan semua file cadangan di tempat yang aman dan merencanakan langkah berikutnya. "Aku akan menunggu waktu yang tepat," ujarnya pada dirinya sendiri. Kini, ia tahu bahwa balas dendam bukanlah satu-satunya pilihan.
Di sela-sela Mahen menyembunyikan ponsel Papanya dan laptopnya, ia merasakan getaran di saku celananya. "Siapa ini?" pikirnya sambil mengambil ponsel. Ternyata, Kanaya yang menelpon.
Mahen mengangkat telpon dari Kanaya. Baru saja mau mendekatkan ponselnya ke telinga, ia didahului oleh suara teriakan dari Kanaya dari seberang telpon. "Mahen! Mama sudah sadar!" teriak Kanaya.
Air mata Mahen keluar seketika, mengucap syukur berkali-kali. "Ya Tuhan, terima kasih," bisiknya dengan suara bergetar. Mahen berusaha menahan air mata yang semakin deras mengalir.
Mahen bergegas meletakkan ponsel Papanya dan laptop ke dalam sebuah tas dan menyembunyikannya di tempat yang dirasanya aman. Ia memastikan semuanya tertata rapi dan tidak mencurigakan.
Mahen segera mengambil kunci mobil dan bergegas turun ke bawah. "Bi Inah! Bi Inah!" teriak Mahen sambil berlari ke arah garasi.
Bi Inah yang dipanggil pun segera menghampiri Mahen dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa, Aden?" tanyanya dengan wajah khawatir.
"Mama sudah sadar, Bi!" ujar Mahen sambil terisak. "Tolong bersihkan kamar Mama, dan pastikan semua siap untuk kepulangannya. Dan tolong beritahu semua pelayan agar tidak masuk ke kamarku. Aku harus segera ke rumah sakit."
Bi Inah mengangguk cepat. "Baik, Den. Segera Bi Inah kerjakan," katanya sambil buru-buru menuju ke dalam rumah.
Mahen pamit pada Bi Inah dengan buru-buru dan segera masuk ke dalam mobil. Ia menyalakan mesin dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit, tak peduli pada kendaraan lain di jalan.
Jantung Mahen berdebar kencang, campuran antara kecemasan dan kegembiraan yang tak terlukiskan. "Syukurlah," bisiknya pada dirinya sendiri, penuh harap dan doa.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)
Fiksi RemajaMemasuki sebuah novel adalah mimpi buruk bagi Keira. Akankah Keira dapat menyesuaikan diri dengan tubuh barunya?