Bab 32

179 6 0
                                    

Mahen duduk termenung tanpa semangat di kelasnya. Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian terakhir di rumah sakit, dan kondisi Mamanya kini jauh lebih baik. Meski demikian, bayangan masa-masa sulit itu masih menghantui pikirannya.

Mahen sudah sedikit lega tentang kondisi Mamanya setelah memberitahukan kepergian Papanya. Meski awalnya Mamanya sempat tidak terima dan kembali histeris, dengan pengertian dan kesabaran, Mahen berhasil membuat Mamanya perlahan menerima kenyataan pahit tersebut.

Mamanya kini lebih tenang, dan bahkan hari ini sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Mamanya juga ingin mengunjungi makam Papanya setelah pulang nanti, sebuah langkah yang penting untuk penyembuhan emosionalnya.

Mahen menghela napas panjang, merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Setidaknya untuk sekarang, dia bisa sedikit bernafas lega.

Guru masuk ke kelas dan pelajaran pun dimulai. Mahen hanya mendengarkan tanpa minat, pikirannya melayang jauh dari buku dan papan tulis.

Bel istirahat berbunyi, menggema di seluruh kelas. Mahen, yang ingin segera keluar untuk mencari udara segar, dicegat oleh Gavi, ketua kelas yang selalu sigap menjalankan tugasnya.

Mahen hanya menatap Gavi.

"Lo, belom ngelakuin hukuman dari Pak Eko," jawab Gavi dengan nada serius.

Mahen tersentak, baru teringat sekarang tentang hukuman itu. "Oh, aku lupa. Apa bisa aku lakukan besok?," kata Mahen.

Gavi hanya menggelengkan kepalanya, tak tahu harus berkata apa. "Gue gak  tahu. Lebih baik lo, ke Pak Eko langsung," katanya sebelum berlalu pergi.

Mahen memandang Gavi yang pergi menjauh. Dengan langkah cepat, dia berjalan keluar dari kelas menuju ruang BK untuk berbicara dengan Pak Eko.

Sesampainya di ruang BK, Mahen mengetuk pintu dan masuk setelah dipersilakan. Pak Eko sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa beberapa berkas.

"Permisi,?" tanya Mahen dengan sopan.

Pak Eko mengangkat wajahnya, menatap Mahen dengan serius. "Silakan, Mahen. Ada apa?"

Mahen mengambil napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara. "Pak, saya belum melakukan hukuman yang bapak berikan, bisakah saya kerjakan sekarang?"

Pak Eko menatap Mahen sejenak, mempertimbangkan permintaannya. "Apa ada rencana penting,?"

"Saya harus menemani Mama saya yang baru keluar dari rumah sakit. Kami akan mengunjungi makam Papa saya," jawab Mahen.

Pak Eko terdiam sejenak, melihat kesungguhan di wajah Mahen. "Baiklah, Kamu bisa melakukannya."

Mahen tersenyum lega. "Terima kasih banyak, Pak Eko."

Pak Eko mengangguk dan menyuruh Mahen keluar.

Mahen keluar dari ruang BK dan berjalan menuju gudang untuk mengambil alat bersih-bersih. Setelah mengambil beberapa peralatan, ia segera menuju toilet wanita. Sesampainya di sana, ia meletakkan papan pemberitahuan bertuliskan "Sedang Dibersihkan" agar tidak ada yang masuk.

Mahen membawa alat-alatnya masuk ke dalam toilet dan mulai membersihkan. Ia menyapu setiap sudut toilet, memastikan tak ada kotoran yang tertinggal. Ia membersihkan wastafel, menggosok cermin hingga bersih mengkilap, mengganti kantong-kantong sampah, dan mengelap permukaan pintu-pintu bilik toilet. Setiap detail diperhatikannya dengan seksama, memastikan toilet benar-benar bersih.

Saat mengepel lantai, ponsel Mahen tiba-tiba berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, ia langsung mengangkatnya. "Halo?" katanya. Penasaran siapa yang menelpon.

"Gue Andre. Lo, harus liat vidio yang gue kirim. Cewe lo keren," suara andre terdengar seakan takjub .

Mahen terhenti sejenak, rasa penasarannya semakin kuat. Ia meletakkan alat pelnya dan membuka pesan dari Andre. Video yang dikirim membuat darahnya mendidih.

Dalam video itu, terlihat dua wanita, Kanaya yang tampak marah dan Laura yang menangis terisak. Laura terlihat sangat terguncang, sementara Kanaya tampak berusaha mempertahankan dirinya, seakan tidak terima dituduh sesuatu.

Namun, perhatian Mahen tertuju pada Xavier, yang berusaha menyakiti Kanaya. Kanaya melawan tanpa rasa takut, meski Xavier semakin kasar.

“Brengsek!” Mahen mengumpat marah, lalu langsung berlari keluar toilet menuju tempat kerusuhan terjadi, yaitu kantin. Ia tahu harus segera sampai di sana sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.

Sesampainya di kantin, Mahen melihat Kanaya sudah ditampar oleh Xavier. Tanpa berpikir panjang, Mahen berlari mendekati Kanaya dan dengan cepat menariknya ke belakang, menjadikan dirinya sendiri sebagai tameng.

"Xavier!!" teriak Mahen dengan suara yang bergetar oleh amarah.

Xavier hanya menatap Mahen dengan tatapan mengejek dan berkata, "Oh, pahlawan kesiangan sudah datang."

Kanaya yang mendengar hinaan Xavier, langsung berteriak tidak terima. "Lo, jangan hina Mahen! Kalau bukan karena cewe alay yang lo lindungin itu menumpahkan makanan ke baju, gue. Gue, gak bakal marah!"

Mahen mengalihkan pandangannya ke arah Laura yang sedang menangis tersedu-sedu. Ia kemudian melihat ke arah baju Kanaya yang sudah kotor karena makanan. Menatap Laura dengan mata yang nyalang, Mahen berbicara dengan nada dingin.

Mencoba mengendalikan kemarahannya. "Kenapa kau tidak hati-hati? Sekarang hentikan tangisan menjijikanmu itu, atau jangan-jangan ingin membuat dirimu sendiri seakan terlihat yang menjadi korban."

Laura, yang masih menangis, terisak dan mencoba menjelaskan, "Aku... benar tidak sengaja" tangisannya semakin kencang.

Mahen yang melihat Laura merasa jijik dengan drama yang dibuat oleh Laura. Sebenarnya Mahen baru tersadar setelah melihat vidio yang dikirim oleh Andre bahwa awal cerita baru saja dimulai.

Jadi Mahen sudah tau kejadian yang sebenarnya seperti apa. Awalnya Kanaya asyik makan dengan temannya dan mengobrol, Laura yang tidak terima melihat Kanaya bisa tertawa puas dia menjalan kan rencana nya.

Dengan cara perlahan berjalan mendekati meja Kanaya sambil mebawa makanan nya, ketika didepannya sudah ada Kanaya dia langsung menjatuhkan makanannya.

Kanaya sontak terkejut tanpa sadar langsung menatap nyalang pada Laura dan menjambak nya. Alhasil pertengkaran pun terjadi.

Kini Mahen menatap Laura dengan pandangan jijik dan mengabaikannya dan kembali menghadapi Xavier. "Xavier Addison, selama ini aku selalu diam. Tapi perbuatanmu sudah melampaui batas." kata Mahen mencoba tetap tenang.

Xavier mengangkat bahu tidak peduli dengan perkataan Mahen, "Yah, seseorang harus mengajarinya cara bersikap, bukan? Dan cewe lo, yang bikin cewe gue nangis."

Kanaya, yang berada di belakang Mahen, merasakan kemarahannya semakin memuncak. "Itu, cuman akting dari cewe lo aja. Dan lo, gak punya hak untuk nampar gue atau menghina Mahen! Laura yang cari masalah duluan!"

𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang