Bab 47

149 7 0
                                    

Tanpa Mahen sadari, tiga teman barunya siap merusak kedamaian yang baru saja dirasakannya. Ruangan rawat inap Mahen kini sudah seperti pasar. Mahen memejamkan mata, berusaha mengontrol kesabaran yang setipis tisu menghadapi ketiga orang yang menjengkelkan ini.

Dengan tidak tahu malunya, mereka bertiga—Zion, Deon, dan Andre. Lebih tepatnya hanya Zion dan Deon yang berteriak-teriak memanggil nama Mahen berkali-kali di lorong rumah sakit.

Mahen bisa tahu itu karena tadi ada suster yang mengantar mereka, padahal Andre sudah mengetahui ruangan Mahen. Namun, Mahen melihat tatapan pasrah juga terlukis di wajah Andre, seakan juga menyerah melihat tingkah absurd dari Zion dan Deon.

Sekarang, Andre berusaha menghentikan Zion yang penasaran dengan rawat inap Mahen yang begitu mewah. Zion menelusuri setiap sudut ruangan seperti anak kecil. Kalau melihat tidak masalah, tetapi Zion berani memegang bahkan tadi sempat ingin memecahkan sebuah hiasan dengan polosnya dia berkata hanya ingin menguji itu besi atau kaca, padahal itu sudah jelas-jelas terbuat dari kaca.

Untungnya, Deon bisa lebih baik dari Zion. Setelah mendapat pelototan tajam dari Mahen, Deon duduk di samping Mahen sambil memakan buah yang ada di nakas samping brankar Mahen.

Deon akan diam jika ada makanan di sampingnya, dan itu baru saja Mahen ketahui jika Andre tidak memberitahunya.

Mahen melihat Zion masih terlihat antusias, sementara di sampingnya ada Andre yang siap siaga jika Zion ingin melakukan sesuatu yang merusak properti rumah sakit.

"Seperti anak kecil, nggak tahu sopan santun," celetuk Deon sambil memakan jeruknya.

Mahen sontak menatap Deon tak percaya dengan apa yang Deon katakan. Astaga, astaga tokoh antagonis dan temannya di luar dugaan sekali.

Andre akhirnya berhasil menarik perhatian Zion dengan mengatakan bahwa Mahen butuh istirahat dan mereka harus lebih tenang.

Zion, meskipun enggan, akhirnya duduk di kursi di sudut ruangan, masih dengan rasa penasaran yang tinggi.

"Maaf, Hen. Aku tahu mereka agak berlebihan, tapi mereka cuma mau memastikan kamu baik-baik saja," kata Andre dengan wajah penuh permintaan maaf.

Mahen hanya menghela napas panjang. "Tidak apa. Yang penting tidak ada yang pecah," jawab Mahen sambil melirik Zion yang sudah mulai bosan dan memainkan ponselnya.

Ruangan itu kemudian sedikit lebih tenang, meskipun suara-suara kecil masih terdengar dari pojokan ruangan.

Mahen, yang berada di tengah-tengah ruang rawat inap yang sekarang berubah menjadi hening, mencoba untuk fokus. Mahen memutuskan untuk memecah kesunyian dengan bertanya pada Andre.

"Bagaimana perkembangan dengan kelima orang itu?" tanya Mahen.

"Mereka sekarang sudah dipenjara. Katanya mereka diperintahkan oleh keluarga Addison," jawab Andre.

"Siapa dalang utamanya?" tanya Mahen lagi.

"Sepertinya ayah Xavier, Hen," jawab Andre tidak pasti.

"Kau yakin itu? Aku ragu, sepertinya mereka lebih terlatih saat aku melawan mereka," kata Mahen dengan nada serius.

Andre mengernyit, "Kau yakin?"

Zion dan Deon yang melihat wajah serius Mahen dan Andre, ikut mendekat untuk mendengarkan. "Aku yakin," jawab Mahen tegas.

"Kalau begitu, kelompok yang lebih besar, Hen?" tanya Andre.

Mahen langsung punya firasat buruk. "Mana ponselmu?" pinta Mahen cepat.

Andre langsung menyerahkan ponselnya, bingung dengan perubahan wajah yang Mahen tunjukkan. Mahen mengetik nomor-nomor yang ia butuhkan dan mencoba menghubungi mereka, tetapi panggilan sibuk. Mahen mencoba menghubungi Mamanya dan Kanaya, tapi gagal.

Mahen menatap Deon, menyuruhnya mengetik nomor Pak Ajun untuk segera menghubunginya. Deon dengan buru-buru menghubungi nomor tersebut. Tapi gagal juga.

Setelah berusaha menghubungi beberapa nomor tanpa hasil, Mahen merasa ketakutan yang mendalam.

“Sial!” umpat Mahen.

Tanpa berpikir panjang, dia mencabut infus dari lengannya, membuat darah mengalir.

Mahen mengumpulkan tenaganya dan mencoba untuk berdiri sendiri, melepaskan tangan Andre yang semula membantunya.

Dia berlari dengan tertatih-tatih, memegang bahunya yang masih terasa sakit, tidak menghiraukan teriakan dari mereka bertiga.

Yang Mahen pikirkan sekarang adalah mamanya dan Kanaya, berharap mereka tidak mengalami hal buruk seperti yang ia pikirkan.

Mahen berlari sambil memegang dinding untuk tumpuan.

“Hen, tunggu!” teriak Zion, Deon, dan Andre serempak melihat Mahen berlari menjauh.

“Hen, kau tidak bisa seperti ini!” Zion berusaha menahan Mahen.

“Kita bantu kamu, tapi jangan buru-buru, Hen!” teriak Andre yang mencoba menahan Mahen agar mau berhenti.

Mahen memegang bahunya yang terasa sakit, namun dia tetap berusaha berlari keluar ruangan. Sampai di luar rumah sakit, Mahen kebingungan sendiri, merasa bodoh karena terlalu panik dan lupa bahwa dia tidak membawa mobil.

"Sial!" umpat Mahen berkali-kali.

Dengan terengah-engah, Zion, Deon, dan Andre mengejar Mahen yang seperti kesetanan.

"Gila, keadaan sakit pun tenaganya masih kuat," batin Andre.

Mereka bertiga sampai di depan Mahen yang terlihat kacau. "Ada apa, Hen?" tanya mereka.

"Apakah kalian membawa mobil?" tanya Mahen cepat.

Mereka mengangguk.

"Antarkan aku ke rumah sekarang," pinta Mahen cepat.

"Tapi, Hen- perkataan Andre terhenti oleh teriakan Mahen yang meminta tolong. "Cepat, aku mohon."

Mereka bertiga membantu Mahen memasuki mobil.

Mahen meminta mereka melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Perasaan Mahen sudah tidak tenang. Untungnya, Mahen membawa pistol dari loker nakas rumah sakit. Dia telah menyembunyikan pistol itu agar mamanya dan Kanaya tidak tahu.

Akhirnya, mereka tiba di depan rumah Mahen.

Tanpa basa-basi, Mahen segera keluar dari mobil. "Jika kalian tidak membawa senjata, jangan macam-macam untuk masuk," kata Mahen, memberikan mereka peringatan agar tidak terjadi sesuatu yang menimpa mereka.

Mahen mendekat pada Andre dan berbisik, "Segera panggil polisi."Andre mengangguk dan segera melaksanakan perintah Mahen.

Mahen kemudian mengambil pistolnya, dan dengan perlahan masuk ke dalam rumahnya.

𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang