Bab 41

156 6 0
                                    

Pagi hari pun tiba Mahen terbangun seperti biasa, mandi, dan memakai seragam sekolahnya dengan rapi. Setelah itu, dia segera turun ke bawah menuju ruang makan.

Sambil berjalan menuruni tangga, dia menyalakan ponselnya dan melihat banyak panggilan tak terjawab dari Maura dan Pak Hadi. Dengan cepat, Mahen memutuskan untuk menelpon Pak Hadi terlebih dahulu.

"Iya, Pak. Ada apa?" tanya Mahen begitu sambungan telepon tersambung, sambil melangkah munuruni tangga.

Pak Hadi menjawab dengan nada serius, “Pihak dari kedua perusahaan, mereka berusaha menghubungi kita untuk mencari penjelasan.”

"Abaikan saja, biarkan mereka panik," balas Mahen dengan tenang.

Tapi ada satu hal lagi, Tuan Mahen,” lanjut Pak Hadi.

Mahen sampai ke ruang makan dan melihat Kanaya dan Mamanya sedang asyik berbicara. Dia menjauhkan sedikit teleponnya lalu menyapa mereka berdua. "Morning,"

Pak Hadi melanjutkan, “Mereka sepertinya menghubungi pihak lain, saya rasa mereka tidak akan menyerah begitu saja.”

Mahen mengangguk ke arah Mamanya dan Kanaya, menyuruh mereka melanjutkan sarapannya.

Dia kembali fokus pada telepon, “Pak Hadi, tenang saja. Pantau saja mereka. Jangan sampai mereka menemukan celah untuk menyerang balik. Saya juga memantau pergerakan mereka.”

Baik, Tuan Mahen. Sesuai instruksi Anda,” jawab Pak Hadi.

Setelah mengakhiri panggilan dengan Pak Hadi, Mahen melanjutkan untuk menghubungi Maura. Namun, sebelum itu, Mama Hana bertanya, “Apa kamu tidak bisa mematikan sebentar telepon kamu, sayang?”

Mahen mempertimbangkan permintaan Mamanya dan memutuskan menghubungi Maura nanti saja. “Kamu terlihat sibuk, sayang. Apa kamu tidak lelah? Seandainya Papa kamu masih ada, kamu gak bakal kerja keras seperti ini,” kata Mama Hana raut sendu terpancar diwajah cantiknya.

“Tidak, Ma. Mahen senang bisa terusin usaha Papa. Mama gak usah sedih, oke” jawab Mahen mencoba menenangkan Mamanya.

Kanaya yang melihat suasana menjadi sedih, berusaha mencairkan suasana, “Kalau Mahen gak kerja, gimana bisa nikahin Kanaya, Ma?”

Mama Hana tertawa dan bertanya, “Kamu mau nikah sama Mahen?”

Kanaya berhasil mengalihkan pembicaraan. Mahen berterima kasih pada Kanaya lewat tatapan.

“Mana ada yang mau sama Mahen, kalau bukan Kanaya, Ma,” timpal Kanaya dengan percaya diri.

Mama Hana melirik Mahen dari bawah sampai atas, “Anak Mama cakep kok, masa gak ada yang mau.” kata Mama Hana.

Mahen tersenyum, “Tenang saja, Ma. Mahen gak nikah sama Kanaya.”

“Kok kamu gitu? Jadi kamu gak mau nikah sama aku?” kata Kanaya sewot.

Mama Hana tertawa melihat interaksi anaknya dan Kanaya. “Tenang saja, kalau Mahen gak mau sama anak Mama yang cantik satu ini, Mama gak bakal anggep anak Mama lagi,” kata Mama Hana mencoba membela Kanaya.

Mahen yang disudutkan hanya bisa menggelengkan kepalanya pasrah, “Iya, terserah kalian deh.” kata Mahen.

Mama Hana dan Kanaya bertos ria merasa senang karena Mahen kalah dalam perdebatan.

Setelah selesai sarapan, Mahen dan Kanaya berpamitan pada Mama Hana untuk berangkat ke sekolah. Mahen menaiki mobil Lamborghini Urus-nya, diikuti oleh Kanaya.

Dalam perjalanan, Mahen memasang AirPods-nya lalu mencari nomor Maura di ponselnya dan menelponnya. “Ada masalah apa?” tanya Mahen sambil fokus melajukan mobilnya di keramaian jalanan pagi hari.

𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang