Bab 33

174 5 0
                                    

Suasana kantin semakin tegang, beberapa siswa mulai mengeluarkan ponsel mereka untuk merekam kejadian tersebut. Mahen berusaha menenangkan dirinya, namun melihat ketidakadilan yang dialami Kanaya membuatnya sulit untuk tetap tenang.

Mahen sudah tidak tahan lagi dengan perbuatan Xavier. Dirinya sudah tidak peduli lagi, walau ini di novel sekalipun, ia tidak boleh tinggal diam. Meski harus mati sekali lagi, lagipula ia sudah pernah merasakan bagaimana rasanya mati.

Tuhan telah memberinya kehidupan kedua, dan Mahen tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Di kehidupan sebelumnya, ia sudah pernah merasakan kehilangan, maka di kehidupan ini dirinya akan melindungi semua yang ia miliki sekarang.

Dengan tatapan tajam, Mahen mendekat pada Xavier. Tanpa basa-basi, ia langsung menonjok rahang Xavier dengan keras.

Bugh

"Itu, balasan karena menampar Kanaya," katanya dengan suara dingin.

Xavier terhuyung ke belakang, memegang rahangnya yang berdenyut kesakitan. "Kau akan menyesal, Mahen," geramnya dengan marah.

Mahen memandang Xavier dengan ejekan yang jelas di wajahnya. "Tuan pengecut," katanya dingin, lalu menggandeng tangan Kanaya dan pergi.

Mahen dan Kanaya berjalan cepat meninggalkan kantin, meninggalkan kehebohan di belakang mereka. Para siswa yang melihat kejadian itu hanya bisa terdiam, tidak berani mengintervensi.

Kanaya yang digandeng Mahen hanya bisa mengikuti langkahnya, merasa campuran antara takut dan kagum terhadap keberanian Mahen.

Mahen dan Kanaya kini ada di depan pintu toilet perempuan. Sebenarnya, Mahen tadi terbawa emosi, jadi yang terpikirkan adalah hanya membawa Kanaya menjauh dari kantin. Mahen masih diselimuti rasa amarah, tapi dia tetap berkata pada Kanaya dengan lembut.

"Apakah masih terasa sakit pipinya?" tanya Mahen sambil memegang pipi Kanaya yang terkena tamparan, mengusapnya dengan lembut.

Kanaya yang diperlakukan seperti itu, jantungnya berdebar kencang. Jarang sekali Mahen mau berinisiatif duluan. "Sudah tidak terasa sakit," jawabnya pelan sambil mengangguk.

Mahen tersadar apa yang baru saja ia lakukan, langsung menarik tangannya dari pipi Kanaya. "Maafkan aku atas kelancanganku," katanya canggung.

Kanaya hanya tersenyum kecil, mengerti rasa canggung yang dirasakan Mahen.

Mahen terbatuk kecil untuk menghilangkan kegugupannya lalu berkata, "Aku harus melanjutkan hukumanku. Kamu ingin menunggu sampai selesai atau aku antar kembali ke kelas?"

Kanaya menatap Mahen. "Aku akan menunggu sampai kamu selesai. Lagipula, aku bisa membantu agar pekerjaanmu cepat selesai."

Mahen menggeleng pelan. "Tidak."

Kanaya berusaha meyakinkan Mahen. "Tapi, Mahen, kalau kita kerjakan berdua, nanti cepat selesai. Aku tidak keberatan membantu."

Mahen tetap dengan pendiriannya, menggeleng lagi. "Tidak, jika kamu masih memaksa. Aku akan langsung mengantarkan kamu kembali ke kelas."

Kanaya mendesah kecewa, tapi akhirnya mengangguk setuju. "Baiklah, tapi aku ingin membantu."

Mahen menatap tidak suka pada Kanaya, "Kanaya Handoko." kenapa susah sekali diberitahu.

Kanya hanya mengangguk pasrah, kalau Mahen sudah memanggil namanya dengan lengkap berati keputusannya sudah bulat tidak bisa dibantah.

Dengan perasaan kesal, " Aku harus duduk dimana?" tanya Kanaya dengan mengalihkan tatapannya dari Mahen.

Mahen melihat sekitar tidak jauh dari toilet ada tempat duduk, Mahen menujuk, "Kamu bisa menunggu disana, atau berdiri disini. Aku tinggal membersihkan lantai lalu selesai." jawab Mahen.

"Aku akan berdiri" kata Kanaya.

Mahen kemudian masuk ke dalam toilet, melanjutkan mengepel lantai yang sempat ia tinggal tadi. Sementara itu, Kanaya menunggu di luar, matanya sesekali melirik ke dalam toilet, memastikan Mahen baik-baik saja.

Beberapa menit kemudian, Mahen keluar dari toilet dengan tangan penuh memegang peralatan bersih-bersih. Kanaya yang melihat Mahen membawa banyak barang, segera merebut satu barang dan berjalan duluan.

Mahen tersenyum tipis dan berkata, "Kau salah arah, Kanaya."

"Memang mau ditaruh di mana?" tanya Kanaya sambil berbalik.

"Aku kira sudah tahu, di kembalikan ke gudang," jawab Mahen sambil menunjuk arah yang benar.

Mereka berjalan menuju gudang bersama. Di tengah perjalanan, Kanaya bertanya, "Nanti pulang sekolah akan ke mana?"

Mahen menjawab, "Menjemput Mama dan ke makam Papa."

Setibanya di depan gudang, Mahen membuka pintu dan membiarkan Kanaya masuk terlebih dahulu. "Aku ikut jemput Mama," kata Kanaya dengan semangat.

Mahen meletakkan peralatannya sambil menjawab, "Boleh,"

Kanaya berseru semangat, "Terima kasih, Mahen! Aku senang bisa ikut."

Mahen tersenyum melihat semangat Kanaya. "Iya," katanya sambil mengambil barang yang dibawa Kanaya.

Mereka berdua keluar dari gudang, berjalan menuju kelas masing-masing. Mahen mengantar Kanaya kembali ke kelasnya. Di depan pintu kelas, Mahen berkata, "Sampai nanti."

Kanaya tersenyum dan mengangguk. "Sampai nanti,"

Setelah mengantar Kanaya, Mahen pun kembali ke kelasnya. Begitu sampai di kelas, ia duduk di bangkunya.

𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang