Bab 35

174 6 0
                                    

Kini Mahen sudah berada di kamarnya, berbaring di tempat tidurnya dengan nyaman. Pikirannya melayang-layang memikirkan kejadian sepanjang hari ini.

Mamanya meminta Kanaya menginap di rumah mereka, dan Mahen sedikit khawatir apakah Kanaya sudah mengabari keluarganya.

Akhirnya, Mahen memutuskan untuk memastikan. Dia bangun, keluar dari kamarnya, dan menuju ke kamar Mamanya tempat Kanaya tidur.

Dengan lembut, Mahen mengetuk pintu dan segera masuk. Terlihat Mamanya sudah tertidur nyenyak sementara Kanaya masih asyik bermain dengan ponselnya.

Kanaya mematikan ponselnya dan menatap Mahen. Mahen mengisyaratkan Kanaya untuk keluar bersamanya.

Kanaya meletakkan ponselnya di atas meja dengan perlahan agar tidak mengganggu tidur Mamanya Mahen.

Lalu mengikuti Mahen keluar dari kamar, kenapa Mahen malam-malam mencarinya apakah ada sesuatu. Apakah Mahen mengajaknya tidur bersama, membayangkanya membuat kanaya seketika salah tingkah dan gugup.

Mahen menutup pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara yang mengganggu.

Mahen menggandeng tangan Kanaya, membawanya sedikit menjauh. Kanaya tangannya digenggam oleh Mahen semakin gugup.

"Apa sudah mengabari keluarga kamu kalau menginap di sini?" tanya Mahen dengan suara pelan.

Kanaya mengangguk pelan berharap bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Mahen tidak tau apa yang dilakukannya menimbulkan kesalah pahaman.

Mahen merasa sudah mendapatkan jawaban yang di inginkannya dan urusannya sudah selesai. Berbalik hendak kembali ke kamarnya.

Kanaya melihat Mahen dengan perasaan dongkol, apakah Mahen tidak mengajaknya tidur bersama. Lalu untuk apa dirinya merasa gugup, Apakah Mahen mencoba mempermainkannya. 

Merasa tidak terima Kanaya langsung menahan tangan Mahen, "Apa hanya itu saja?" ingin rasanya membongkar isi kepala Mahen. Apa sih sebenarnya apa yang Mahen si anak super gak peka inginkan.

"Menyebalkan sekali," gumamnya lirih.

Mahen mengangkat satu alisnya, kenapa reaksi Kanaya terlihat kesal. "Iya, kenapa?" jawab Mahen heran, apakah ada yang salah dengan dirinya.

"Apa kamu mengajak ku bicara seperti ini. Hanya memastikan apa aku sudah mengabari orang rumah?" kata Kanaya, geram dengan sikap acuh seorang Mahen Atmaja.

Mahen mengangguk pelan, dan bertanya sekali lagi, "Kenapa?" mencoba mencari tau apa yang membuat Kanaya kesal.

"Kenapa tidak chat saja?" Kanaya balik bertanya.

"Tidak terfikirkan olehku," singkat Mahen.

Merasa semakin kesal, Kanaya melepaskan genggaman tangannya dengan kasar dan berlalu meninggalkan Mahen. Langsung masuk ke kamar dengan perasaan jengkel.

Mahen melihatnya dengan bingung saat Kanaya pergi begitu saja.

Mahen mengangkat bahunya acuh, lalu kembali ke kamarnya dan segera berbaring di tempat tidurnya. "Aneh sekali," gumamnya pelan.

Mahen berbaring dalam keheningan, tenggelam dalam lamunannya. Awal cerita yang sebenarnya baru saja dimulai, dan tekadnya untuk berubah sudah membara dalam dirinya.

Ia menginginkan keadilan untuk kematian Papanya, bertekad untuk membongkar kasus yang selama ini gelap dan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelakunya.

Dalam pikirannya, Mahen memutuskan untuk memberikan pelajaran kepada mereka yang berani menyakiti orang yang ia sayangi.

Tidak peduli seberapa dulu mereka memulai, dia tidak akan menyalahkan dirinya sendiri jika ia harus membalas dendam. Sebagai balasannya, mata akan dipertukarkan dengan mata, kesedihan dibalas dengan kesedihan.

Mahen menyadari bahwa mereka terlalu meremehkan dirinya. Meskipun terlihat naif, Mahen Atmaja sebenarnya adalah sosok yang patut ditakuti.

Mereka telah membangunkan monster yang selama ini tertidur. Kini, mereka harus menghadapi kehancuran yang akan datang. Mereka salah memilih lawan—Mahen akan membawa mereka menuju kehancuran yang sempurna.

  

***

Matahari sudah terbit, sinarnya menerangi kamar Mahen, namun sang pemilik kamar masih tertidur nyenyak, tidak terganggu sedikit pun. Suara ketukan dari luar kamar terdengar, tetapi Mahen tetap tidak terganggu, terbenam dalam tidurnya yang dalam.

Kanaya mengetuk pintu kamar Mahen berkali-kali dengan sabar. "Mengapa tidak bangun-bangun? Apakah sesulit itu membangunkan Mahen?" gumamnya. Ketika dia mencoba membuka pintu, "Ternyata tidak terkunci," pikirnya, heran.

Begitu memasuki kamar, Kanaya terbelalak, mulutnya secara otomatis menutup untuk menahan keterkejutan. Pemandangan di hadapannya benar-benar tak terduga. Posisi tidur Mahen begitu berantakan  laptop masih menyala di atas tempat tidur, selimut terjatuh ke lantai, dan bantal berserakan di bawah kaki.

Yang membuatnya paling terkejut adalah Mahen tidur dengan mata dan mulut terbuka—sebuah pemandangan yang sangat kontras dengan kebiasaan rapi Mahen.

Rasa geli tak tertahan menggeliat di perut Kanaya, dan ia hampir tidak bisa menahan tawanya. Baru kali ini dia melihat Mahen Atmaja, sosok yang selama ini dikenal sangat perfeksionis dan menjaga kebersihan dengan ketat, tidur dalam keadaan semerawut seperti ini.

Kanaya berjalan mendekati Mahen, memeriksa sekeliling sambil mencari sesuatu. Ponsel Mahen berada di atas meja, dan tanpa basa-basi, Kanaya mengambil ponsel tersebut dan memotret Mahen yang tertidur nyenyak. Dengan menahan geli, dia mengirimkan foto tersebut ke ponselnya sendiri.

Muncul ide lucu di benak Kanaya untuk membangunkan Mahen. Dengan hati-hati, ia naik ke tempat tidur dan mendekatkan bibirnya ke telinga Mahen. Tanpa ragu, ia menggigit telinga Mahen dengan cukup keras.

Mahen terbangun mendadak, merasakan rasa sakit di telinganya. Ia memegang telinganya dengan ekspresi meringis, menahan rasa sakit yang tak terhindarkan.

Ketika matanya terbuka, ia melihat Kanaya yang sedang tertawa terpingkal-pingkal, seolah tindakan barusan adalah sesuatu yang sangat lucu.

"Mungkin ini cara tercepat untuk membangunkanmu," kata Kanaya sambil tertawa, matanya berkilauan dengan keceriaan.

Mahen menggelengkan kepalanya, meskipun telinganya terasa sakit sekali. "Kau benar-benar tidak ada ampun," ucapnya dengan nada geram namun terhibur.

Dengan geram, Mahen mendekati Kanaya dan mulai menggelitiknya. Kanaya, yang tidak bisa mempersiapkan diri, tertawa terbahak-bahak, menahan rasa geli di area perutnya. "Berhenti! Hahaha, ini terlalu banyak!" teriaknya sambil memohon agar Mahen berhenti, tubuhnya bergetar karena gelitikan tersebut.

"Bagaimana rasanya sekarang?" tanya Mahen sambil tertawa, matanya bersinar penuh kemenangan.

Melihat Kanaya yang tertawa, Mahen pun tidak bisa menahan tawanya. Mereka akhirnya berhenti, dengan Kanaya yang berusaha menetralkan napasnya setelah banyak tertawa, sementara Mahen masih tertawa pelan, mengingat momen yang baru saja terjadi.

"Aku belum pernah melihatmu tertidur seperti ini sebelumnya," ujar Kanaya sambil tersenyum, napasnya mulai stabil.

"Dan aku tidak pernah membayangkan akan bangun dengan cara seperti ini," balas Mahen sambil tersenyum lebar, merasakan kehangatan dari tawa yang baru saja terjadi.

𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang