Mahen membenarkan posisinya agar nyaman dengan melipat kedua tangannya di atas meja sebagai tumpuan, lalu menenggelamkan wajahnya dan memejamkan mata.
Namun, Mahen sebenarnya tidak tidur. Dia hanya memejamkan mata, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Mahen memikirkan cara untuk memberi tahu mamanya tentang kepergian papanya. Hatinya terasa seperti tertusuk benda tajam setiap kali membayangkan betapa terpukulnya mamanya jika mengetahui kabar itu.
Mahen tahu bahwa dia harus mengatakan yang sebenarnya, tapi hanya setelah mamanya pulang dari rumah sakit atau setidaknya keadaannya membaik.
"Semoga ini keputusan yang tepat," gumam Mahen pelan.
Karena terlalu larut dalam pikirannya, tiba-tiba ada yang menggebrak meja Mahen. Mahen terkejut dan melihat Pak Arif berdiri di depannya dengan wajah marah.
"Apa yang kamu lakukan, Mahen? Tidur di kelas?" tanya Pak Arif dengan suara keras, membuat seluruh kelas terdiam.
Sebelum Mahen bisa menjawab, Pak Arif langsung menjewer telinga Mahen. Sontak semua teman sekelasnya menertawakan Mahen.
Mahen berusaha melepaskan tangan Pak Arif dari telinganya, tapi Pak Arif malah memutar telinganya lebih keras.
"Pak, sakit, Pak!" seru Mahen, mencoba menghindari rasa sakit.
"Tidur di kelas itu tidak sopan, Mahen! Kamu pikir ini tempat tidur?" Pak Arif marah-marah.
"Saya cuma... saya nggak tidur, Pak. Saya cuma pejamkan mata sebentar," jawab Mahen dengan suara lirih.
"Keluar dan lari mengelilingi lapangan 10 kali putaran! Sekarang!" perintah Pak Arif.
Mahen hanya berdehem dan cuek saja dengan hukuman yang diberikan Pak Arif. Dia malah fokus berusaha melepaskan jeweran Pak Arif, sesekali memaki dalam hati. Setelah dilepaskan, Mahen berjalan keluar kelas menuju lapangan. Teman-temannya masih tertawa, tapi Mahen tidak menghiraukannya.
"Dasar nggak tahu aturan," gumam Mahen pelan sambil memulai larinya.
Pak Arif yang diacuhkan Mahen hanya bisa mengelus dadanya dan menghela napas tanda pasrah. "Anak ini benar-benar keras kepala," katanya pada dirinya sendiri.
Sementara itu, Mahen mulai berlari mengelilingi lapangan. Langkah-langkahnya mantap, dan meskipun teman-temannya menertawakannya dari kejauhan, dia tetap fokus pada larinya. Setiap putaran yang dia lakukan, pikirannya terus kembali pada mamanya dan bagaimana dia akan menyampaikan kabar buruk itu.
"Semoga semuanya akan baik-baik saja," pikir Mahen dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Setelah beberapa putaran, Mahen mulai merasa lelah, tapi dia terus memaksa dirinya untuk menyelesaikan hukuman itu. Dia tidak peduli dengan ejekan dan tawa dari teman-temannya. Yang ada di pikirannya hanyalah mamanya dan bagaimana dia harus kuat demi mamanya.
"Jangan menyerah, Mahen. Kamu harus kuat. Demi Mama," bisik Mahen pada dirinya sendiri, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menyelesaikan putaran terakhir.
Saat dia menyelesaikan putaran terakhir, dia berhenti sejenak, terengah-engah, tapi puas. "Selesai," katanya pada dirinya sendiri, lalu segera menuju kantin ia tidak peduli jika pelajaran belum selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)
Roman pour AdolescentsMemasuki sebuah novel adalah mimpi buruk bagi Keira. Akankah Keira dapat menyesuaikan diri dengan tubuh barunya?