Sesampainya di rumah sakit, Mahen segera berlari menuju ruangan tempat Mamanya dirawat. Napasnya tersengal-sengal, tetapi kecemasannya mendorongnya untuk terus berlari. Dari kejauhan, ia bisa melihat beberapa perawat keluar masuk ruangan sambil membawa peralatan medis. Kepanikan di wajah mereka membuat Mahen semakin cemas.
Mahen juga melihat Kanaya berdiri di luar ruangan, mondar-mandir seperti orang kebingungan. Wajahnya pucat dan matanya penuh kekhawatiran. Saat Mahen mendekati ruangan, suara teriakan terdengar semakin jelas. Ia mempercepat langkahnya dan segera menghampiri Kanaya dengan napas yang naik turun akibat kelelahan berlari.
"Kanaya, ada apa? Kenapa kamu terlihat bingung?" tanya Mahen dengan suara terengah-engah.
Kanaya menoleh dengan mata berkaca-kaca. "Mahen, Mama... dia berteriak-teriak memanggil nama Papa. Dan... dan bertanya mau bertemu Papa," jawab Kanaya dengan suara gemetar.
Bagai tersambar petir, Mahen merasakan kepanikan yang luar biasa. Tanpa berpikir panjang, ia menerobos masuk ke ruangan Mamanya. Pemandangan yang ia lihat membuat hatinya hancur.
Mamanya sedang dipegangi oleh dua perawat dari kedua sisi, berusaha melepaskan infus sambil berteriak-teriak histeris, memanggil nama Papanya dengan isakan yang memilukan.
"Tolong! Lepaskan aku! Aku harus bertemu dengan suamiku! Di mana dia?!" teriak Mamanya dengan penuh kegilaan.
Dokter Hendra berusaha menyuntikkan obat penenang, tetapi kesulitan karena Mamanya terus berontak. Mahen merasa hatinya tercabik-cabik melihat kondisi Mamanya. Ia segera mendekati tempat tidur Mamanya, mencoba untuk menenangkan dirinya sebelum berbicara.
"Mama, ini Mahen. Tenang, Ma, aku di sini," ujar Mahen dengan suara lembut sambil mengusap wajah Mamanya. Ia berharap sentuhannya bisa memberikan ketenangan yang dibutuhkan Mamanya. "Mama, tolong tenang. Aku di sini. Papa... Papa sudah tenang, Ma."
Mamanya yang masih berontak, perlahan-lahan merasakan kehadiran Mahen. Ia berhenti meronta, matanya yang berair menatap Mahen dengan tatapan kosong. "Mahen... di mana Papa?" tanyanya dengan suara yang lemah, penuh harap.
Mahen menahan isakannya, berusaha tetap kuat. "Mama, Papa sudah tenang. Mama harus istirahat dulu, ya. Nanti, tapi Mama harus tenang dulu," jawab Mahen sambil mengelus rambut Mamanya. "Biarkan Dokter Hendra membantu Mama. Tolong, Ma, tenanglah."
Mamanya mulai tenang, "Sayang, Ka..kamu berjanji kan?," tanyanya penuh harap sambil memegang kedua bahu Mahen sesekali terisak.
Mahen tidak mampu menjawab hanya mengangguk berkali kali setidaknya bisa meyakinkan Mamanya untuk saat ini
"Kamu sudah berjanji," Mamanya Mahen bergumam lirih.
Dokter Hendra berhasil menyuntikkan obat penenang. Mahen terus mengelus wajah dan rambut Mamanya, memberikan rasa nyaman dan aman.
Perlahan, Mamanya mulai tertidur kembali, kelelahan setelah berteriak-teriak.
Mahen merasa lega melihat Mamanya mulai tenang. Ia menatap dokter Hendra dengan tatapan penuh terima kasih. "Terima kasih, Dokter," ujar Mahen dengan suara serak.
Dokter Hendra mengangguk. "Tidak masalah. Ini sudah sering terjadi, saya harap anda bisa bersabar."
Mahen hanya mengangguk, lalu duduk di kursi di samping tempat tidur Mamanya, tetap menggenggam tangan Mamanya yang mulai tenang.
Mahen menatap mata Mamanya yang terpejam, menghela napas gusar. Ia bimbang bagaimana memberitahukan semua yang terjadi.
Mahen memejamkan mata untuk menekan emosinya, dirinya berjanji akan mengungkap semuanya dan membalas perbuatan mereka dengan setimpal. "Aku berjanji," Mahen bergumam lirih.
Kanaya masuk ke dalam ruangan, duduk di samping Mahen dan memeluknya berharap bisa menenangkan Mahen.
Karena kelelahan, Mahen pun tertidur di kursi samping tempat tidur Mamanya. Kanaya yang tidak lagi mendengar suara isakan Mahen, mendekat untuk memeriksa. Ternyata, Mahen tertidur dengan wajah yang terlihat sangat lelah. Kanaya merasa iba melihat Mahen yang tertimpa musibah berkali-kali. Ia ingin sekali membantu Mahen, tapi tidak tahu caranya. Dengan hati-hati, ia menyelimuti Mahen dengan selimut yang ada di kursi, lalu berjalan menjauh menuju sofa, takut mengganggu tidurnya.Kanaya duduk di sofa, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu betapa berat beban yang ditanggung Mahen. Dirinya ingin menjadi pelipur lara, tapi sering kali merasa tak berdaya. “Aku harap aku bisa lebih banyak membantu, Mahen,” gumam Kanaya pelan, sambil menatap Mahen yang tertidur. Dengan perlahan, ia mengambil kue coklat yang diberi Mahen tadi dan melanjutkan memakannya. Kue yang manis itu seolah menjadi penghibur di tengah kepahitan yang mereka rasakan.
Beberapa menit setelah Mahen pergi pagi tadi, Mamanya Mahen terbangun. Melihat pergerakan di tempat tidur, Kanaya mendekat.
Mamanya Mahen baru membuka mata, dengan suara kecil dan tidak jelas, tetapi masih bisa didengar oleh Kanaya. “Kami tidak salah...kami tidak salah,” gumam Mamanya Mahen berkali-kali, matanya terlihat nanar.
Kanaya mencoba menenangkan Mamanya Mahen. "Ma, tenang ya, semua akan baik-baik saja," ujarnya lembut sambil menggenggam tangan wanita itu.
Namun, Mamanya Mahen justru mulai berteriak, "Mana suamiku!!." "Mana suamiku!!" dengan berusaha turun dari tempat tidur, mencoba melepas infusnya.
Kanaya panik, berusaha menahan, tapi gagal.
“Tolong, Ma! Tenang dulu, ini berbahaya!” seru Kanaya, suaranya bergetar karena cemas. Ia berusaha memegang tangan Mamanya Mahen, tetapi wanita itu semakin berontak.
Tanpa pilihan lain, Kanaya menekan bel darurat berkali-kali agar dokter segera datang. “Dokter! Tolong! Ada yang perlu bantuan di sini!” teriaknya dengan suara yang hampir putus asa.
Detik-detik terasa sangat lama. Mamanya Mahen semakin histeris, dan Kanaya merasa dirinya tidak cukup kuat untuk menahan wanita yang panik itu. “Tante, tolong, tenang. Semua akan baik-baik saja,” bisiknya sekali lagi, meskipun suaranya sendiri dipenuhi kecemasan.
Dokter Hendra dan beberapa perawat masuk tergesa-gesa ke dalam ruangan. Melihat situasinya, mereka segera bergerak untuk membantu. “Tenang, lebih baik anda menunggu diluar,” kata Dokter Hendra sambil mencoba mengendalikan situasi.
Perawat-perawat lainnya membantu menahan Mamanya Mahen, tapi hasilnya nihil.
Kanaya bergegas keluar dan langsung menghubungi Mahen
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)
Novela JuvenilMemasuki sebuah novel adalah mimpi buruk bagi Keira. Akankah Keira dapat menyesuaikan diri dengan tubuh barunya?