Bab 3

620 31 0
                                    

Keira, yang kini terperangkap dalam tubuh Mahen, memilih untuk tidur karena kelelahan dengan situasi yang ia alami. Pagi harinya, Mahen bangun dengan perasaan campur aduk.

Ia bergegas untuk mandi, meskipun ragu karena tubuhnya yang sekarang berubah banyak sekali. "Aku harus terbiasa dengan tubuh prianya," gumamnya sambil mengumpulkan keberanian.

Setelah mandi dan berpakaian, Mahen turun ke bawah, mengelilingi bagian dalam mansion. "Mansion ini besar sekali," pikirnya sambil mengagumi arsitektur klasik dan perabotan mewah di sekitarnya.

Ia berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain, mencoba memahami setiap sudut rumah yang kini menjadi tempat tinggalnya. Setelah selesai mengelilingi bagian dalam, Mahen keluar ke halaman luar mansion.

Mahen merasa ada sesuatu yang aneh. Mansion sebesar ini seharusnya ramai, tetapi tidak ada seorang pun yang terlihat. "Ke mana semua orang?" tanyanya dalam hati, mulai merasa sedikit cemas.

Ia terus berjalan, menikmati pemandangan taman yang luas dan terawat. Tetapi ketika perutnya berbunyi, Mahen sadar ia lapar.

Dengan cepat, Mahen menuju dapur. "Mungkin ada sesuatu yang bisa dimakan," pikirnya. Ia membuka kulkas dan menemukan hanya ada telur dan roti. "Tidak banyak pilihan, tapi setidaknya bisa membuat sarapan," ujarnya sambil mengambil bahan-bahan tersebut.

Namun, saat ia tengah sibuk dengan isi kulkas, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang.

Mahen terkejut dan berbalik. Di depannya berdiri seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah. Mahen tidak mengenal wanita tersebut, jadi ia hanya diam. Wanita itu tersenyum dan berkata, "Aden, cari apa?"

Mahen sedikit kebingungan tetapi berusaha untuk tetap tenang. "Aku lapar, Bu. Ada sesuatu yang bisa dimakan?" tanyanya sopan.

Wanita itu tertawa kecil, "Oh, tentu. Saya bisa membuatkan sarapan untuk Aden. Saya Bi Inah, kepala rumah tangga di sini. Anda mungkin belum terbiasa dengan dapur ini."

Mahen merasa lega mendengar penjelasan itu. "Terima kasih, Bi Inah. Aku memang belum terbiasa," katanya sambil meletakkan telur dan roti kembali ke kulkas.

Bi Inah segera mulai memasak sarapan, sementara Mahen duduk di meja dapur, mengamati setiap gerakan wanita tersebut. "Anda tampaknya baru di sini. Biasanya nunggu bibi yang datangi Aden," kata Bi Inah sambil menyiapkan sarapan.

Mahen tersenyum canggung. "Aku, hanya tidak ingin merepotkan," jawabnya.

"Kaya sama siapa aja, Aden mah aneh." kata Bi Inah dengan suara menenangkan. "Kalau Aden ada masalah bilang saja sama bibi, siapa tau bisa jadi teman cerita."

"Aku... tidak ada masalah apapun," kata Mahen sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

Bi Inah meletakkan piring berisi telur orak-arik dan roti panggang di depan Mahen. "Makanlah, Aden. Anda butuh energi untuk menjalani hari."

Mahen mengangguk dan mulai makan, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran Bi Inah yang ramah. Di sela-sela ia makan, Mahen bertanya, "Bi Inah, kenapa rumah sebesar ini sepi? Di mana orangtuaku?"

Bi Inah tersenyum sendu. "Orangtua Anda sedang dalam perjalanan bisnis. Mereka sering bepergian, jadi tidak selalu berada di rumah. Tapi jangan khawatir, ada banyak pelayan di sini yang siap membantu Anda."

Mahen mengangguk, mencerna informasi tersebut. "Terima kasih, Bi Inah. Aku akan berusaha."

"Anda tidak sendirian, Aden. Kami semua di sini untuk membantu Anda," kata Bi Inah dengan hangat.

Mahen menyelesaikan sarapannya dan berterima kasih kepada Bi Inah. Segera kembali meninggalkan dapur.

𝐌𝐀𝐇𝐄𝐍 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang