Madara melompat dari pohon ke pohon dengan kecepatan luar biasa, diikuti oleh Zetsu Putih dan Zetsu Hitam yang setia menemaninya. Zetsu Putih berbisik, "Madara, Ino dalam bahaya. Dia sedang dikepung oleh musuh-musuhmu."
Madara menghentikan lompatan sesaat dan berteriak marah, "Kemana Hashirama? Kenapa dia membiarkan ini terjadi?"
Zetsu Hitam menjawab dengan tenang, "Kami tidak melihat Hashirama atau shinobi Konoha lainnya di sekitar sini."
Mata Madara menyala dengan tekad. Dia kembali berlari, lebih cepat dari sebelumnya. Dia harus tiba sebelum semuanya terlambat. Namun, rasa cemas yang merayap di hatinya semakin kuat seiring setiap langkahnya.
Setibanya di tempat yang dituju, pemandangan mengerikan menyambutnya. Darah mengalir deras dari tubuh Ino yang sudah tidak bernyawa, bersandar pada pohon besar di tepi jurang. Madara terdiam, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Perlahan, dia melangkah mendekat ke arah Ino. Tangannya yang biasanya kokoh kini bergetar saat meraih tubuh dingin gadis itu ke dalam pelukannya. Madara memeluknya erat, merasa hancur dan hilang. Hatinya berteriak dalam keheningan, membayangkan ketakutan yang mungkin dirasakan Ino sebelum kematiannya.
Dia bahkan tidak bisa menepati janjinya untuk menjemputnya. Air mata yang jarang keluar kini membasahi pipinya. "Ino...," bisiknya, suaranya penuh dengan kesedihan dan penyesalan. "Aku akan menciptakan dunia dimana kau bisa hidup dengan damai," janjinya, namun kata-kata itu terasa hampa tanpa kehadiran gadis yang dicintainya.
Madara merasa dunia runtuh di sekelilingnya, kehilangan yang dirasakannya begitu mendalam. Dengan Ino yang tak bernyawa dalam pelukannya, dia merasakan kehampaan yang tak terlukiskan. Rasa kebencian Madara terhadap dunia shinobi bertambah besar, mengobarkan tekadnya untuk menghancurkan tatanan yang ada dan menciptakan dunia baru yang bebas dari penderitaan dan kehilangan. Hatinya kini sepenuhnya dipenuhi oleh kemarahan dan dendam, berjanji pada dirinya sendiri bahwa pengorbanan Ino tidak akan sia-sia.
.
.
.
.
.Ino perlahan membuka matanya, menyadari bahwa dunia di sekitarnya sudah berubah. Tubuhnya yang sebelumnya terbungkus benda putih dari pohon suci kini bebas. Dia mengedarkan pandangannya, melihat sekelilingnya yang kini terang dan damai. Tidak ada lagi yang terjebak dalam Mugen Tsukuyomi; perang telah usai, dan Madara telah dikalahkan.
Ino terdiam, tubuhnya terasa lemah namun pikirannya penuh dengan ingatan. Sejak terperangkap dalam Mugen Tsukuyomi, dia telah mengalami perjalanan yang panjang dan penuh penderitaan. Dia terlempar jauh ke masa lalu, merasakan setiap detik yang berlalu di sana.
Ino mengingat semua itu dengan jelas, terutama tentang Madara. Hatinya mulai terasa sakit saat kesadaran itu datang. Madara menciptakan perang ini karena dirinya, karena kematiannya di masa lalu. Air mata mulai mengalir dari matanya, mengerti bahwa kematian dirinya adalah pemicu rencana besar Madara.
Perasaan campur aduk menghantam hatinya. Bagaimana mungkin dia tidak menyadari itu sebelumnya? Bagaimana mungkin dia tidak tahu bahwa kematiannya adalah sumber penderitaan Madara? Pria itu telah terluka begitu dalam hingga mencapai titik akhir, semua karena kehilangan dirinya di masa lalu.
Ino menangis, merasakan sakit yang mendalam. Dia tahu bahwa perang telah berakhir, tetapi beban emosional dari semua yang terjadi masih menghantui dirinya. Hatinya terasa hancur, merasakan kesedihan yang mendalam untuk pria yang menciptakan kehancuran demi rasa cintanya yang teramat besar.
.
.
.
.
.Di dalam kamarnya, Ino duduk di meja tulisnya, mengenakan pakaian serba hitam yang melambangkan kedukaan. Hari ini adalah hari penghormatan dan pemakaman untuk semua Shino Konoha yang telah gugur dalam perang Dunia Shinobi Keempat termasuk ayahnya sendiri. Dengan tangan gemetar dan air mata yang terus mengalir, Ino menulis sebuah surat, berusaha mengungkapkan semua perasaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of Destiny [MADARA X INO]
RandomMadara menerjang kehidupan demi kehidupan hanya untuk mencarinya. Dia sudah kehilangan cinta di dua kehidupan sebelumnya dengan cara yang begitu menyakitkan. Dan kali ini dia berjanji bahwa itu tidak akan terjadi lagi. "Tuhan, jika memang kehidupan...