Ino merasakan kesadarannya mulai kembali dari kegelapan yang panjang. Cahaya di ruangan rumah sakit itu terasa menyilaukan, namun kehangatan yang mengelilinginya menenangkan. Di sekelilingnya, suasana tegang meliputi orang-orang terdekatnya.
Orang tuanya, Deidara, dan satu orang lagi yang berdiri di sekitar tempat tidurnya, menunggu dengan penuh kecemasan yang hampir bisa dirasakan. Dokter yang berada di samping tempat tidur Ino memeriksa kondisinya dengan seksama.
"Kondisinya sudah mulai stabil," kata dokter itu, suaranya menjadi penyelamat di tengah ketegangan yang memuncak, membuat semua orang di ruangan itu menghela nafas lega.
Ibu Ino segera mendekat, diikuti oleh ayahnya. Mereka memeluk putri mereka dengan penuh kasih, air mata syukur mengalir di pipi mereka yang penuh kerutan akibat waktu. "Terima kasih, Tuhan, karena telah mengembalikan putri kami," bisik ibu Ino dengan suara bergetar, pelukannya erat dan penuh perasaan.
Ino, meskipun masih lemah, mencoba memberikan senyuman kecil. Dia bingung dengan semua perhatian ini, merasa sedikit terasing dari situasi yang baru saja dia sadari. Di sudut ruangan, Madara berdiri dengan wajah datarnya yang biasa, namun matanya yang biasanya dingin kini memancarkan kehidupan yang baru. Pria yang dikenal karena sikapnya yang dingin dan sulit ditebak itu, kini berdiri dengan perasaan yang berkecamuk. Keberadaan Ino di sana mampu membangkitkan ekspresi yang selama ini tersembunyi dalam dirinya.
Ibu Ino melepaskan pelukannya, mengelus pipi Ino dengan lembut. "Terima kasih karena telah berjuang, sayang," katanya dengan suara penuh kasih. Ino membalas dengan senyuman tipis, namun pandangannya segera beralih ke Madara yang berdiri tak jauh dari tempat tidurnya.
Madara menatap Ino dengan pandangan yang dalam dan penuh makna, seolah-olah dia tidak ingin kehilangan sosok itu lagi. Ino merasa asing dengan pria itu, meskipun ada sesuatu yang familiar dalam tatapan mata Madara. Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari bibirnya yang masih kering. "Siapa pria itu?" tanyanya dengan suara serak.
Suasana di ruangan itu seketika berubah. Semua orang terdiam, seolah waktu berhenti berdetak. Bagi Madara, pertanyaan itu bagaikan benda tajam yang menghantamnya tanpa ampun, menembus pertahanannya yang selama ini kokoh. Rasa sakit itu membuatnya terpaku, menggetarkan hatinya hingga ke dalam. Orang tua Ino menoleh ke arah Madara dengan ekspresi tidak percaya, lalu kembali menatap putri mereka, seolah mencari penjelasan yang tidak terucapkan.
Dalam keheningan yang mencekam itu, perasaan campur aduk mengisi ruangan. Madara berdiri tak bergerak, jiwanya seakan terseret ke dalam pusaran emosi yang tak terdefinisi. Hanya Ino yang mampu menembus dinginnya dinding emosinya, membuatnya merasakan kehidupan dengan cara yang tak pernah dia alami sebelumnya.
.
.
.
.
.Madara melangkah masuk ke kamar Ino dengan hati-hati, seolah takut mengganggu keheningan yang menyelimuti ruangan itu. Di tangannya tergenggam setangkai mawar putih yang segar, simbol harapan dan cinta yang tak pernah pudar. Dengan penuh kelembutan, ia meletakkan bunga itu di vas yang berada di samping tempat tidur Ino. Gadis itu tertidur pulas, wajahnya tampak damai dalam tidurnya.
Madara mendekat, hatinya berdegup keras seiring langkahnya. Ia meraih wajah Ino, mengelus pipinya dengan lembut. Gadisnya telah kembali, namun tidak dengan ingatan tentang dirinya. Sebuah kenyataan yang pahit untuk diterima. Dari semua kenangan yang hilang, hanya dirinya yang terhapus dari ingatan Ino. Sesakit itukah kenangannya bersama Madara hingga gadis ini membuangnya jauh-jauh?
"Amnesia selektif adalah keadaan dimana penderita hanya melupakan suatu kejadian atau individu tertentu saja. Hal ini bisa terjadi ketika kejadian atau individu tersebut begitu menyakitkan bagi sang penderita, hingga membuatnya ingin melupakannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of Destiny [MADARA X INO]
RandomMadara menerjang kehidupan demi kehidupan hanya untuk mencarinya. Dia sudah kehilangan cinta di dua kehidupan sebelumnya dengan cara yang begitu menyakitkan. Dan kali ini dia berjanji bahwa itu tidak akan terjadi lagi. "Tuhan, jika memang kehidupan...