Di taman rumah sakit yang sepi, Madara dan Inoichi Yamanaka duduk berdampingan di sebuah bangku kayu yang telah usang oleh waktu. Suasana tenang itu terasa ganjil, seolah-olah seluruh dunia telah berhenti sejenak untuk memberi mereka ruang. Ino, putri semata wayang Inoichi, masih berjuang untuk hidup di dalam rumah sakit itu, berada di bawah pengawasan ketat. Kehadiran Madara di sana menjadi tanda tanya besar bagi Inoichi, mengingat situasi yang mereka hadapi.
Setelah beberapa menit dalam keheningan yang tegang, Inoichi akhirnya membuka pembicaraan, suaranya berat oleh beban emosional yang ia rasakan. "Tuan Madara..."
Madara langsung memotong, suaranya tegas namun ramah. "Madara saja. Justru aku yang harus memanggilmu dengan hormat karena umurku yang lebih muda."
Inoichi mengangguk, berusaha menahan emosinya yang bergejolak. "Baiklah. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara kau dan Ino."
Madara menoleh perlahan, tatapannya kosong dan dingin, seolah-olah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia mengambil jeda yang panjang sebelum menjawab dengan suara rendah, "Ino adalah gadis yang kuat. Ada hal-hal yang lebih baik tidak diketahui oleh banyak orang."
Inoichi menghela napas panjang, mencoba menahan amarah dan kebingungannya. "Aku tahu ada yang kau sembunyikan, Madara. Tapi ada satu hal yang ingin kutanyakan mengenai apa yang terjadi antara perusahaan Yamanaka dan Uchiha satu bulan lalu? Aku sudah tidak heran jika Uchiha memutus kerja sama. Tapi melihatmu yang bertindak lama dan tidak seperti biasanya, seolah itu semua hanya kejadian kecil, membuatku bingung."
Madara tetap diam, matanya menatap lurus ke depan dengan ekspresi yang sulit dibaca. Inoichi melanjutkan dengan nada yang lebih serius, "Aku tambah bingung saat Uchiha kembali menjalin kerja sama dengan Yamanaka. Itu bukanlah seperti Uchiha yang kami kenal."
Akhirnya, Madara berbicara, suaranya penuh dengan makna tersembunyi. "Kita semua membuat keputusan berdasarkan pertimbangan yang berbeda, Inoichi. Kadang, ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika semata."
Inoichi menatap Madara dengan tajam, mencoba menangkap maksud di balik kata-kata itu. "Tapi melihat cara pandangmu pada Ino di hari perayaan ulang tahun perusahaan Yamanaka," katanya dengan suara yang lebih lembut, "aku sadar bahwa pria di sampingku ini tertarik dengan putri semata wayangku."
Madara menarik napas panjang, wajahnya tampak lebih emosional sekarang. "Ino... dia lebih dari sekadar seseorang. Dia adalah nafas bagiku. Aku mencintai Ino dengan sangat hingga rasanya cinta itu bisa menghancurkanku kapan saja."
Inoichi terdiam, terkejut dengan pengakuan Madara yang mendalam. Ia mencoba memahami kedalaman perasaan Madara terhadap putrinya. Madara melanjutkan, suaranya kini penuh dengan kejujuran dan rasa sakit, "Aku telah melihat banyak hal dalam hidupku, berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan. Tapi tidak ada yang pernah membuatku merasa seperti ini. Cinta untuk Ino begitu kuat hingga aku merasa hancur saat dia terluka."
Inoichi menatap Madara dengan campuran rasa empati dan kekhawatiran. Dalam tatapan mata Madara, ia melihat ketulusan yang jarang sekali lepas dari sorot dingin pria itu. "Jadi, itulah alasanmu masih menjalin kerja sama dengan Yamanaka? Karena cinta pada Ino?"
Madara mengangguk perlahan. "Ya, itu sebagian besar alasannya. Aku tahu risiko yang ada, tapi aku akan melakukan apa saja untuk memastikan Ino aman dan bahagia. Termasuk memastikan perusahaan Yamanaka berjalan dengan baik dan dia tidak perlu khawatir."
Inoichi menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Sebagai seorang ayah, aku hanya ingin yang terbaik untuk putriku. Melihatnya dalam keadaan seperti ini, aku merasa sangat tidak berdaya. Tapi melihat ketulusan di matamu, aku tahu bahwa kau benar-benar mencintai Ino."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of Destiny [MADARA X INO]
RandomMadara menerjang kehidupan demi kehidupan hanya untuk mencarinya. Dia sudah kehilangan cinta di dua kehidupan sebelumnya dengan cara yang begitu menyakitkan. Dan kali ini dia berjanji bahwa itu tidak akan terjadi lagi. "Tuhan, jika memang kehidupan...