Setelah pertemuannya yang penuh amarah dengan Zetsu di kantor polisi, Madara kembali ke rumah sakit dengan napas yang masih memburu. Amarahnya masih memuncak, dan pikirannya terus dihantui oleh ejekan dan kebencian Zetsu. Ketika tiba di rumah sakit, langkahnya cepat dan tegas menuju kamar Ino.
Madara membuka pintu kamar dengan lembut, berusaha menahan emosi yang membara di dalam dirinya. Begitu melihat Ino yang masih terbaring tak berdaya, hatinya luruh. Hari sudah mulai larut lagi, dan rasa frustasi menyelimuti dirinya. Dengan langkah pelan, dia berjalan mendekati tempat tidur Ino, duduk di kasur dan meraih tangan lembutnya.
Dia mengelus tangan Ino dengan lembut, merasakan setiap sentuhan kulitnya yang dingin. Tidak ada tanda-tanda Ino akan bangun, dan itu semakin mengoyak sanubarinya. Ia menatap wajah Ino yang tampak tenang, namun tampak jauh dari kehidupan yang biasanya memancar darinya.
"Hei sayang, tidak bosan tidur terus hm?" tanyanya dengan suara lembut, mencoba menahan air mata yang menggenang di matanya. Seolah-olah berharap Ino akan bangun dan menjawab pertanyaannya. Namun, hanya keheningan yang menyambutnya.
Madara menggenggam tangan Ino lebih erat, suaranya bergetar oleh emosi yang mendalam. "Aku di sini, Ino. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Kumohon, bangunlah. Aku merindukanmu, suaramu, senyummu."
Dia menundukkan kepalanya, membiarkan air mata jatuh. Rasa sakit dan ketidakberdayaan semakin menguasai dirinya. Setiap hari tanpa Ino adalah penderitaan yang tak terbayangkan. Madara tahu bahwa ia harus tetap kuat, namun melihat Ino dalam kondisi seperti ini membuatnya merasa hancur.
Dengan hati-hati, Madara mengangkat tangannya dan mengelus pipi Ino dengan lembut. Sentuhan itu membuatnya merasa sedikit terhubung dengan Ino, meskipun dalam keadaan yang sangat berbeda dari biasanya. "Kau tahu, Ino, aku bertemu dengan Zetsu tadi. Dia orang yang bertanggung jawab atas semua ini. Aku marah, sangat marah. Tapi yang lebih penting sekarang adalah kau. Aku hanya ingin kau kembali. Aku membutuhkanmu di sisiku."
Di luar kamar, Deidara, kakak laki-laki Ino, hendak masuk ke dalam. Namun, ia berhenti di balik pintu, menyaksikan pemandangan yang memilukan di depannya. Dia melihat Madara duduk di samping tempat tidur Ino, menggenggam tangan adiknya dengan penuh kasih sayang dan keputusasaan. Melihat Madara yang biasanya begitu kuat dan tegar kini begitu rapuh, membuat Deidara merasa sangat tersentuh.
Deidara menahan napas sejenak, merasa sedih melihat betapa besar cinta Madara untuk Ino. Ia tahu bahwa Madara melakukan segala yang dia bisa untuk Ino, dan betapa hancurnya hati Madara melihat kondisi Ino yang tak kunjung membaik.
Deidara akhirnya memutuskan untuk memberikan mereka ruang, berbalik dan berjalan menjauh dengan hati yang berat. Ia tahu bahwa Madara membutuhkan waktu sendirian dengan Ino, dan ia hanya bisa berharap bahwa keajaiban akan datang dan adiknya akan segera bangun.
Madara, yang tidak menyadari kehadiran Deidara di balik pintu, terus berbicara dengan lembut kepada Ino, berharap dengan segenap hatinya bahwa kata-katanya akan sampai ke hati Ino. "Aku mencintaimu, Ino. Jangan tinggalkan aku. Kumohon."
Di dalam kesunyian malam itu, hanya suara mesin medis yang berbunyi ritmis menjadi saksi dari cintanya yang dalam dan tak terbatas. Madara terus duduk di sana, menggenggam tangan Ino dan mengelus pipinya dengan penuh harap, berdoa agar keajaiban akan datang dan Ino akan segera kembali kepadanya.
.
.
.
.
.Madara duduk di ruang rapat, menatap malas presentasi yang sedang berlangsung di depannya. Pikirannya tidak berada di sana, melainkan terus-menerus kembali ke Ino yang masih terbaring tak berdaya di rumah sakit. Sudah hampir satu minggu berlalu, dan Ino belum juga sadar. Setiap kali Obito memberi kode agar Madara mendengarkan presentasi, Madara hanya menatapnya dengan pandangan kosong, merasa tidak tertarik dan tidak bisa fokus pada apapun selain Ino.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of Destiny [MADARA X INO]
RandomMadara menerjang kehidupan demi kehidupan hanya untuk mencarinya. Dia sudah kehilangan cinta di dua kehidupan sebelumnya dengan cara yang begitu menyakitkan. Dan kali ini dia berjanji bahwa itu tidak akan terjadi lagi. "Tuhan, jika memang kehidupan...