28. Kesempatan yang Singkat

51 13 20
                                    

Tahun telah berganti. Namun, kesedihan serta duka masih saja menyelimuti kediaman Rudiansyah, sepeninggalan sang anak tunggal, tepatnya satu tahun yang lalu. Tubuh Fania semakin kurus dengan relung yang tak luput dalam memikirkan putrinya. Sejak saat itu, tidak ada kebahagiaan maupun senyuman yang menghiasi sepasang suami istri tersebut. Namun, aktivitas tetap harus berjalan normal dengan menerapkan berbagai topeng dalam menyembunyikan pilu nan duka.

Bumi pun seakan turut bersedih, membasuh jalanan dengan cairan alam, di sore yang amat padat di tengah-tengah perkotaan. Nampak ke-empat sahabat yang kini tengah beradu argumentasi di sebuah cafe dengan beberapa buku juga laptop. Hujan turun semakin deras, lagi-lagi membuat mereka mengurungkan niatnya untuk pulang, dan lebih memilih untuk tetap berada di cafe sebelum hujan kembali reda.

"Roy! Kok, gue ngerjainnya gak balance, ya! Ini letak kesalahannya di mana?" tanya Clara, sembari menyodorkan buku tugas ekonomi-nya pada lelaki yang kini menyandarkan punggungnya pada kursi yang sedari tadi didudukinya.

Lantas Roy mengambil buku Clara dan menunjuk ke salah satu huruf yang Clara tulis di atas barisan dalam tabel tersebut. Clara mengangguk, yang kemudian kembali menghapus salah satu angka yang ia tulis dengan beberapa kekeliruan.

Sementara Sarah hanya melamun, mendongak yang kemudian menundukkan kepalanya ke arah buku novel-nya. Terlintas di benaknya rasa rindu akan sahabat dekat yang kini telah tiada. "Aku kangen kamu, Zalya!" Refleks Sarah mengucapkan sesuatu yang terpendam di dalam lubuk hatinya, yang secara otomatis membuat ke-tiga sahabatnya yang lain kembali teringat akan hal tersebut.

Clara membuang nafas panjang, ia nampak menetralkan dirinya. Membuang semua penyesalan serta kekhawatiran yang selalu menghantui dirinya. "Seandainya ada keajaiban, aku hanya ingin ketemu Zalya dan meminta maaf untuk yang kesekian kalinya, atas apa yang telah aku perbuat padanya!" ucap samar Clara.

Kesibukan dalam mengerjakan tugas sekolah, berganti dengan keheningan, lalu kini berubah menjadi suasana pilu dalam mengenang duka atas kepergian Zalya, juga Aditya. Perasaan tak karuan mulai muncul. Berat terasa dalam mengikhlaskan seorang sahabat baik yang tiba-tiba hilang tanpa aba-aba.

"Dia emang dingin, cuek juga galak, selama ia hidup tujuh belas tahun, dia tidak pernah tersenyum lebar ... Hanya senyuman singkat yang selalu ia pancarkan dengan fana!" ucap Roy yang memang sedari tadi, lelaki tersebut tak luput memikirkan sahabat masa kecilnya.

"Ra, Lo ingat, kan, apa yang pernah diucapkan Zalya terakhir kali di hadapan kita?" tanya Dafa yang ditujukan pada Clara.

Clara terdiam sejenak, kemudian mengangguk singkat. "Waktu itu kita berada di aula sekolah, entah sehancur apa hatinya kala itu ketika dia telah membuktikan bahwa Aditya memang pergi untuk selamanya. Dia sampe bilang kalau dia gak akan pernah menikah selama hidupnya di dunia ini, karena ... Karena tidak ada yang bisa menggantikan posisi Aditya!" jelas Clara yang sesekali mendongak, menghalau air mata yang memaksanya untuk jatuh.

"Iya! Zalya memang sulit untuk merasakan jatuh cinta, dan ketika rasa cinta itu tumbuh untuk pertama kalinya, tiba-tiba cintanya harus berakhir dan meninggalkan luka permanen! Dia baru saja merasakan hormon yang normal itu, tapi kenapa ada luka yang menyertainya, sehingga ia kembali untuk tidak pernah merasakan rasa cinta itu!" sahut Sarah.

"Ayolah, Lya! Kita kangen sama kamu, please jika kamu hilang, cepatlah pulang, dan jika kamu memang telah tiada, bantu kami untuk mengikhlaskanmu!" ucap Dafa yang kini menatap kosong ke arah langit-langit ruangan cafe tersebut.


***

Suasana kerajaan Raksa Bumi memang ramai seperti biasanya. Semua melakukan aktifitas sesuai profesinya masing-masing, kerajaan yang sangat berbaur dengan alam, tepatnya berdiri di tengah-tengah hutan. Namun, alam Raksa Bumi tak kalah canggihnya dengan alam dunia yang ditempati para manusia biasa.

ELLEZALYA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang