27. Belajar Mengikhlaskan

41 12 20
                                    

Garis polisi membentang panjang, membatasi akses jalan setapak yang menuju ke dalam inti hutan Kramat, yang sering mereka sebut sebagai hutan Naga putih. Semua warga asli desa Marga Cahya, bergotong royong, untuk membangun sebuah pagar besi, yang membatasi hutan Naga putih dengan daerah permukiman.

Itupun karena perintah dari Erlan, yang kini menjadi kepala desa, setelah Erlan mendapat permohonan dari Fania, bahwa hutan tersebut harus ditutup. Kalau tidak, mungkin akan menelan banyak orang yang hilang jika memasuki hutan tersebut.

Sampai hari ini, Zalya masih belum ditemukan. Pencarian pun berakhir, kini Rudi dan Fania hanya bisa pasrah dan berusaha mengikhlaskan kehilangan putri tunggalnya. Kini kedua pasangan tersebut, kembali ke kota dengan perasaan yang hancur. Sehancur-hancurnya.

Hanya menangis yang sering dilakukan Fania setelah Zalya benar-benar tidak ditemukan. Setiap kali Fania memasuki kamar gadisnya, air mata pun tak hentinya berjatuhan. Ia hanya bisa melihat foto-foto Zalya yang terdapat pada handphone-nya.

Fania teringat akan sebuah buku yang terakhir kali ditemukan di dalam tas milik Zalya. Lantas ia mengambil buku tersebut dan membukanya. Kedua alisnya bertaut, tangan Serta mulutnya bergetar kala satu persatu huruf, mulai dibacanya.
Tulisan kuno yang memenuhi lembaran buku tersebut, dapat ia fahami.

Sesak. Menyisipkan lara dalam hati dan pikiran. Menepis air mata yang menggenang hangat di pelupuk, yang kemudian jatuh tanpa diminta. Hingga membuat noda basah di atas kertas usang pada buku sejarah yang kini ia baca.

"Ini tidak adil, aku bersumpah akan membencimu wahai leluhur yang menurunkan karma pada anak cucunya sendiri!" gumam Fania yang tampak geram, setelah membaca sembarang halaman pada buku tua tersebut.

"Ada apa, Mah!" Rudi yang mendengar itu lantas menghampiri Fania dan duduk di sebelah istrinya tersebut.

Fania menggeleng, yang kemudian kembali menutup buku yang seketika membuatnya geram juga kesedihan yang kian menyayat.
"Mama tetap ingin mencari Zalya! Dia belum meninggal, dia hanya terjebak di suatu tempat!" ucap perempuan berusia empat puluh tahun itu, pada sang suami yang duduk di sebelahnya.

Rudi menatap nanar istrinya. Membawanya ke dalam pelukan hanya untuk menenangkan perasaan Fania. "Mengikhlaskan memanglah sulit, Mah, terutama bagi kita yang hanya memiliki satu keturunan yang sekarang hilang tanpa aba-aba. Yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa, semoga sang pencipta selalu melindungi Zalya di manapun ia berada, dan semoga putri kita ditempatkan di sisinya, bila mana kini telah tiada!" ucap Rudi yang seolah terlihat kuat di hadapan Fania.

Dalam pelukan sang suami, justru hal tersebut dapat membuat tangisan Fania semakin menjadi-jadi. Tangannya mengepal keras, menahan sesaknya dari rasa kesedihan yang kian mendalam. Seolah merekalah yang mendapatkan kesedihan yang paling besar, dibandingkan dengan semua orang yang tinggal di muka bumi ini.

"Mama percaya, Zalya saat ini masih hidup, Pah! Dia masih hidup! Dia hanya terjebak di suatu tempat ... Dia korban kesalahan yang dibuat leluhurnya! Kenapa ... Di saat negri lain mendapatkan harta warisan, berupa tahta kerajaan dan jabatan dari orang tuanya yang merupakan seorang Raja, lantas kenapa kita hanya mendapatkan karmanya saja! Bukan tahta maupun jabatan!" ucap samar Fania yang tenggelam dalam tangisannya.

Mendengar itu, lantas Rudi mengernyit. Menatap Fania dengan relung yang dipenuhi tanda tanya. "M-maksud Mama?!"

***

Gadis bersurai hitam, yang kini telah berganti pakaian dengan gaun berwarna hitam se-lutut, yang mana berbagai pakaian telah disiapkan oleh pelayan istana Raksa Bumi. Bahkan Zalya di berikan kamar mewah di dalam istana tersebut untuk ditempati. Sebelum nantinya Zalya benar-benar akan menjadi seorang istri dari putra mahkota di kerajaan Raksa Bumi.

ELLEZALYA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang