19. Kekuasaan dan Warisan

72 17 42
                                    

Mendung kembali terlihat memenuhi langit siang di Desa Marga Cahya. Perlahan butiran kristal cair dari atas sana mulai berjatuhan. Lantas ketiga remaja yang tengah berduka di atas pemakaman tersebut, bangkit. Meninggalkan area pemakaman dan kembali ke rumah mendiang Wiranto.

Suasana rumah masih ramai. Anak-anak kecil saling berlarian di teras rumah, semua anak cucu Wiranto tengah berkumpul di ruang tengah. Yang mana, Wiranto memiliki  empat orang anak. Tiga perempuan dan satu laki-laki, Fania-lah anak pertama Wiranto.

Zalya memasuki rumah tua Wiranto, serta dibuntuti kedua sahabatnya dari belakang. Tidak banyak basa-basi, Zalya hanya mengucapkan salam serta memasang senyuman ramah kepada semua keluarga besarnya, yang tengah berkumpul di ruang tengah.

Bukan sombong, Zalya hanya tidak terlalu akrab dengan keluarga dari ibunya. Yang mana gadis bersurai hitam tersebut selalu dibenci tanpa sebab oleh keluarga besarnya. Apa yang Zalya lakukan, selalu salah di mata mereka. Mungkin, membatasi diri lebih baik, daripada harus menambah luka karena rasa benci mereka yang kian bertambah ketika Zalya ikut bergabung dengan mereka.

Tidak ada sapaan hangat yang menyambut Zalya dan kedua sahabatnya tersebut. Kehadirannya nampak tidak diinginkan semua orang. Lantas Zalya berjalan ke arah kanan, menuju ruangan yang menjadi tempatnya ketika berkunjung ke rumah tua tersebut.

"Untung saja kalian berdua ikut!" ucap Zalya, yang kini menyandarkan tubuhnya pada kursi kayu dengan pahatannya yang unik. Kedua lelaki tersebut hanya terdiam, menunggu ucapan Zalya selanjutnya.

"Karena jika tidak, aku bakalan sendirian ... dengan tubuh yang layaknya dikucilkan keluarga besar sendiri," lanjutnya.

"Mereka hanya iri padamu, Lya!" ucap Aditya. Lantas Zalya menoleh heran ke arah wajah Aditya.

"Aku tidak memiliki apa yang mereka miliki, Dit, aku tidak terlalu cantik seperti anak-anak tanteku yang lain ... aku juga tidak memiliki kekayaan seperti mereka, lalu ... apa yang harus mereka iri-kan dariku, Dit?" tanya Zalya.

Aditya tersenyum kemudian ikut duduk di sebelah gadis bersurai hitam tersebut.
"Karena kamu, mewarisi garis seorang pemimpin, kamu adalah pewaris Ratu dalam sejarah kerajaanmu yang hilang itu ... mereka iri, karena kamulah yang mewarisi garis kepemimpinan tersebut!" jelas Aditya.

"Apa mereka tau, kalau mereka semua adalah keturunan kerajaan Cahya Tunggal?" tanya Roy.

"Aku tidak tau, Roy, selama ini ... aku tidak pernah mendengar cerita apa pun mengenai silsilah keluarga kami, kalau waktu itu Abah Prabusarya tidak mendatangiku, aku juga tidak akan tau mengenai silsilahnya!" jelas Zalya.

"Apa mereka sebenarnya mengetahui semuanya lalu sengaja disembunyikan? Ataukah mereka benar-benar tidak mengetahuinya?" tanya Roy.

"Jika mereka tidak mengetahui silsilah keluarga dan leluhurnya, terus kenapa mereka membenciku!" jawab Zalya.

"Entahlah, jawaban itu mungkin belakangan ... sekarang kita fokus untuk mencari tau letak asli kerajaan Cahya Tunggal!" Lanjut Zalya setelahnya.

"Peta besar yang terpajang di dinding ruang bawah tanah!" ucap Roy penuh semangat, mengingatkan Zalya akan ruangan yang tersembunyi di balik lukisan kuno bernuansa hutan rindang.

"Iya! Itu dia!"

Dengan penuh hati-hati, ketiga remaja tersebut berjalan ke arah lorong ruangan,  yang dipenuhi lukisan besar terpajang  pada dindingnya. Sejauh ini aman, tidak ada yang melihat mereka kecuali Fania yang tiba-tiba menghampiri mereka.

"Kalian sedang apa!" seru Fania pada ketiga remaja tersebut yang tengah berdiri di lorong ruangan yang gelap.

Ketiganya lantas menoleh ke arah sumber seruan. "Kami hanya ingin mengamati lukisan tua untuk tugas seni-budaya di sekolah besok, mumpung kita ada di sini," bohongnya. Si gadis bersurai hitam itu nampak bicara seperti semestinya, memperlihatkan tas berukuran sedang yang berisi buku serta alat tulis, berharap Fania mempercayainya dan segera meninggalkan mereka.

ELLEZALYA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang