Sapuan angin pagi yang berhembus lewat celah kaca balkon kamar membawa hawa dingin. Membuat kedua lelaki itu, ingin berlama-lama dalam selimut. Aditya dan Roy— Mereka berdua tidur di kursi panjang, tepatnya di balkon kamar Zalya yang seperti rumah kaca.
Sementara Zalya, gadis itu nampaknya sudah bangun sedari tadi. Setelah membantu Fania membuat sarapan, ia segera naik ke lantai atas, dan membangunkan kedua sahabatnya tersebut.
"Guys! Sarapan sudah siap!" teriak Zalya dari anakan tangga, membuat kedua lelaki tersebut terbangun, sontak menoleh ke arah sumber suara.
"Morning sayangnya aku!" sapa Aditya di pagi itu seraya menggeliat dan sesekali menguap.
"Buruan cuci muka, habis itu sarapan!" suruh Zalya, yang kini gadis itu kembali turun ke arah dapur. Dibuntuti kedua lelaki tersebut dari belakang, yang sebelumnya, mereka pergi ke kamar mandi terlebih dahulu.
Mereka pun memulai menyantap sarapannya. Rudi yang nampak asyik berbincang-bincang dengan kedua lelaki tersebut. Rumah nampak terasa lebih ramai dari biasanya. Rudi mengatakan, kenapa tidak dari dulu Zalya membawa banyak teman untuk menginap di rumahnya.
Topik utama di pagi ini hanyalah mengenai tugas di sekolah, sesekali kedua lelaki tersebut memuji masakan yang Fania buat. Sehingga banyak tawa yang terdengar menyenangkan dari ruang makan.
Suara dering telepon rumah mulai berbunyi nyaring. Menghentikan pembicaraan mereka di tengah-tengah sarapan. Lantas Fania beranjak dari kursi, dan berjalan ke arah telepon untuk mengangkat panggilannya.
"Apa? Ini gak mungkin ... baik, kita ke sana sekarang!" ucap Fania yang nampak tertekan pada seseorang di sebrang telepon.
Tangan dan kaki Fania nampak bergetar, wajahnya pucat, yang kini ia mulai menangis setelah berbicara pada seseorang di sebrang telepon. Lantas Rudi langsung menghampiri Fania, begitu juga dengan ketiga remaja tersebut.
"Ada apa, Ma?" tanya Rudi.
"Ayah Wiranto, meninggal!" jawab Fania begitu lirih.
"Ini gak mungkin!" monolog Zalya yang tak kalah kaget, mendengar kakeknya meninggal dunia.
Kebahagiaan seketika berganti dengan kesedihan. Duka kini menyelimuti mereka.
Kenapa Tuhan mengambil Wiranto dengan cepat, yang mana sosok Wiranto sangat penting dalam pengungkapan sejarah keraton bagi Zalya."Zalya! Kemasi pakaianmu, kita akan ke Desa Marga Cahya sekarang!" suruh Rudi pada Zalya yang masih berdiri kaku, meratapi kepergian kakeknya. Zalya mengangguk, ia berlari menaiki anakan tangga, dengan cepat memasukan pakaian yang akan dibawa ke dalam ranselnya.
Roy dan Aditya, kedua lelaki itu kini bergegas menaiki anakan tangga, dan memasuki kamar Zalya. Dilihatnya, Zalya tengah duduk seraya memeluk buku sejarah keraton yang terakhir kali diberikan Wiranto untuknya. Zalya menangis sejadi-jadinya, lantas Aditya memeluknya, hanya untuk memberi ketenangan pada gadis yang tengah berduka.
"Kenapa harus secepat ini, Dit, kamu tau? Hanya Kakek-lah yang memegang semua kunci dalam pengungkapan semua rahasia yang tersembunyi," lirih Zalya dalam tangisannya.
"Kamu tau? Mungkin kakekmu ingin kamu untuk memecahkan semuanya sendiri, tanpa ada bantuan dari dirinya!" ucap Aditya yang berusaha menenangkan Zalya.
"Zalya, cepat turun ... kita berangkat sekarang!" teriak Fania dari bawah. Roy segera turun menemui Fania dan menyuruh Fania untuk berangkat terlebih dahulu. Biar Zalya ikut bersama Roy menggunakan mobilnya. Fania menyetujuinya, akhirnya Fania dan Rudi berangkat ke Desa Marga Cahya saat itu juga. Meninggalkan tiga remaja yang masih tinggal di rumahnya.
"Orang tua lo sudah berangkat duluan, sisanya kita, biar kita berangkat pake mobil gue aja!" ujar Roy. Tentu, Aditya juga pasti akan ikut ke Desa Marga Cahya.
![](https://img.wattpad.com/cover/365105747-288-k724722.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ELLEZALYA
Fantasía[Genre Hisfic - Romance] Terlahir sebagai indigo kerap kali membuatnya merasa lelah untuk hidup yang dihadapkan berbagai pemandangan menyeramkan ditiap sorot matanya. Diberi amanah yang besar dari leluhurnya yang tak lain adalah PRABUSARYA, seorang...